14 - Desire

128 32 7
                                    

Desire /dəˈzī(ə)r/
* Menginginkan
* (n') Perasaan yang kuat ingin memiliki sesuatu atau berharap sesuatu terjadi.

.
.
.
.

Tepat pada pukul sepuluh malam, taksi yang ditumpangi Aksara dan Rinai sampai di depan sebuah rumah sederhana di salah satu desa yang ada di salah satu sudut kota Bandung. Setelah membayar ongkos taksi dari Aksara, mereka berdua segera keluar dari taksi kemudian menghentikan langkahnya tepat di depan pintu gerbang rumah tersebut yang terbuat dari besi setinggi pinggang orang dewasa yang dilapisi oleh cat berwarna putih.

Aksara mengerutkan keningnya dalam-dalam seperti tidak percaya bahwa dia benar-benar berada di depan rumah Ibu Rinai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aksara mengerutkan keningnya dalam-dalam seperti tidak percaya bahwa dia benar-benar berada di depan rumah Ibu Rinai. Karena sepengamatan Aksara rumah itu benar-benar kecil, bahkan tidak ada sepertiganya dari rumah Ayah Rinai, apalagi jika dibandingkan dengan rumahnya, benar-benar tidak ada apa-apanya.

"Ini beneran rumah Ibu kamu?" Tanya Aksara to the point sembari melirik Rinai yang notabenenya berdiri di sisi kirinya.

Rinai pun tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya pelan. Karena memang faktanya inilah rumah ibunya. Rumah sederhana yang berpuluh-puluh tahun ditempati Ibunya. Bahkan sejak sebelum Ibunya bercerai dengan Ayahnya.

Aksara menghela napasnya panjang saat melihat Rinai menganggukkan kepalanya pelan, "saya nggak nyangka kalau ternyata kamu dan Ibu kamu hidup serba pas-pasan begini"

Rinai yang mendengar perkataan Aksara tersebut langsung menoleh cepat ke arah Aksara yang terlihat tidak bersalah sama sekali sudah mengatakan kalimat setajam itu. Dia bahkan sibuk berkacak pinggang sembari menatap rumah itu dengan tatapan penuh menilainya yang sumpah terlihat begitu menjengkelkan dimatanya.

Rinai berdecih sinis, "Seandainya aja kamu bukan penyelamat saya" ujar Rinai penuh dengan penekanan.

Aksara melirik Rinai dengan alisnya yang naik satu, "kenapa? Mau suruh saya pulang dan nggak nyusahin kamu lagi?"

"Bukan. Tapi saya mau bunuh kamu!" Ujar Rinai dengan tegas. Rinai tampak mendengus sebal sebelum kemudian dia mendorong pintu gerbang selebar satu meter itu lalu masuk ke dalam diikuti oleh Aksara yang sejak tadi menertawakan perkataan Rinai. Padahal saat Rinai mengatakan hal tadi, terlihat jelas nada penuh kebencian yang ikut melekat di sana. Yah, memang pada dasarnya Aksara bukan manusia normal, wajar rasanya jika dia bisa menganggap perkataan tajam Rinai ---menjurus ke ancaman tersirat--- justru adalah sesuatu yang menggelikan perut.

Sampai di depan pintu rumah Ibunya, Rinai langsung menghentikan langkahnya dengan Aksara yang kini berdiri di sisi kanan Rinai. Rinai pun segera mengetuk pintu sembari berharap Ibunya belum tertidur karena sumpah Rinai takut sekali mengganggu Ibunya yang  sedang istirahat apalagi saat keadaan Ibunya kurang sehat begini. Ya, melihat lampu di area ruang tamu yang kelihatannya sudah dimatikan, kemungkinan besar Ibu sudah terlelap.

Step-Sister (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang