Drt ... drt ... drt ....
Nada dering handphone membuat Kaira tersadar dari renungannya akan semua kesalahan masa lalu yang pernah ia buat hingga dirinya harus mengalami penderitaan amat menyakitkan dari pria tak berperasaan yang sialnya adalah suami tercintanya. Dengan tertatih, ia berjalan ke dalam walk in closet untuk mengganti pakaiannya yang basah karena hukuman Keyvan dan buru-buru mengangkat telepon.
"Bunda? Tumben banget bunda telepon? Ada apa, yah?" monolog Kaira.
"Halo, assalamualaikum Bunda."
Wa ... waalaikumussalam Sayang, Ai ... to ... tolongin Bunda sama Ayah, Nak ... tolong ..., –balas Mitha dari seberang sana.
"Bunda, ada apa Bunda? Kok suara Bunda kek nahan sakit gitu? Ayah sama Bunda baik-baik aja, 'kan?"
Kita ... gak baik-baik aja, Ai Sayang ... ki ... kita ....
"Bund, ngomong sama Ai ada apa? Apa yang terjadi sama kalian berdua?"
Ai, bisa kamu segera ke sini, Nak? Wak ... waktu Bunda ud ... udah gak banyak Sayang, cepet ke sini ya? –pinta Mitha melirih.
"O ... oke Bunda, Bunda sama Ayah tenang aja okey? Ai akan sampai di sana dua menit lagi dan Ai juga akan telepon abang Hanung nantinya untuk menyusul, jangan tutup teleponnya Bunda!"
Ce ... cepatlah Sayang, Ayah dan Bunda udah ... gak kuat lagi.
Dor!
Dor!
Aakkh!"Bunda! Bunda sama Ayah gak papa, 'kan?" teriak Kaira khawatir.
Tut ... tut ... tut ....
Karena rasa khawatir yang mendominasi, Kaira tak lagi memedulikan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan luka memar serta darah yang mulai mengering di keningnya. Yang ia utamakan sekarang adalah keselamatan kedua orang tuanya, untuk masalah rasa sakitnya ini bisa ia atasi nanti.
Dengan terburu-buru Kaira menuruni tangga tanpa peduli tatapan tajam Keyvan yang kini mulai mengintimidasi dirinya, ia tak peduli tanggapan Keyvan dan lebih memilih menutup mulutnya lalu mengendarai motor ninja kesayangannya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju rumah ayah dan bundanya.
Di tengah jalan pun Kaira mulai memasang headshet di telinganya lalu menghubungkan panggilannya kepada Hanung dan dengan tetap mempertahankan fokusnya ke arah jalanan yang ramai, dalam telepon Kaira menyuruh Hanung untuk bergegas menuju rumah kedua orang tuanya kemudian menutup telepon secara sepihak.
Sesuai perkataannya, tiga menit kemudian ia sampai di rumahnya dan tampaklah rumah yang berantakan serta darah yang berceceran di mana-mana. Hal tersebut membuat trauma Kaira akan masa lalu di mana sang opa terbunuh karena tembakan muncul kembali dalam dirinya, tubuhnya bergetar hebat hingga rasanya Kaira tak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri.
Nggak Kaira, ini bukan saatnya lo lemah. Temukan kedua orang tua lo dan pastikan keadaan mereka baik-baik aja, baru setelah itu lo selidiki siapa dalang di balik kekacauan ini. Fighting Ai, lo pasti bisa hadapi trauma besar ini! –batin Kaira menyemangati dirinya sendiri.
Kaira terus melangkahkan kaki jenjangnya menuju ruang keluarga, hal yang sangat menyesakkan muncul di hadapannya. Hatinya teriris melihat kondisi kedua orang tuanya terbaring lemah tak berdaya di lantai dengan darah di sekujur tubuh mereka. Dapat Kaira pastikan bahwa itu akibat dari tembakan yang ia dengar di telepon tadi, tanpa berkata dan berurai air mata, Kaira berlari menghampiri sang bunda yang sayup-sayup masih membuka matanya.
"Bu ... Bunda ... hiks ... Bunda ... ap ... apa yang terjadi kepada kalian berdua? Hiks ... maafin Kaira yang datang terlambat, Ayah ... Bunda ... maafin Kaira ..., " isak Kaira merebahkan kepala sang Bunda di pangkuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisakah Aku Bahagia? (END)
Teen Fiction"Ayah, bunda, bisakah aku bahagia?" "Ayah, bunda, aku lelah. Bolehkah aku pergi menyusul kalian saja?" "Tuhan, bisakah aku bahagia? Walau sesaat saja, bisakah aku mendapatkan kebahagiaanku di dunia yang kejam ini?" "Tuhan, tak bisakah aku mendapatka...