Brak!
"Astaghfirullah, ada apa ini?"
Pintu didobrak begitu saja oleh Keyvan karena emosinya yang tak terkendali sejak dirinya mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Hal itu membuat Kaira yang sedang membuat cupcake di dapur terlonjak kaget, beruntung dia berpegangan dengan kursi karena jika tidak mungkin ia akan terjungkal ke belakang.
"Ada apa, Mas Cio? Kok kamu pulang-pulang udah dobrak pintu aja? Gak salam lagi, ada apa?" tanya Kaira beruntun.
"Bisa jelaskan kamu ke mana saat aku baru berangkat kantor tadi?"
"Oh bisa. Maaf aku gak izin ke kamu, aku tadi pergi ke rumah mama Maudy buat anterin masakan aku yang banyak ini."
"Lalu? Pulang diantar siapa?"
"Oh, aku pulang diantar sama abang Hanung Mas. Mama maksa aku untuk pulang bareng abang Hanung, dikarenakan aku adalah orang yang gak enakan maka aku terima aja permintaan mama. Lagian aku sama bang Hanung adalah mahram, jadi fine-fine aja kalau aku pulang sama dia. Ada apa sih, sebenarnya? Kok kamu kaya interogasi aku gini? Aku ada salah?"
Brak!
"Kalau kamu emang gak cinta lagi sama aku, gausah kamu sok kasih perhatian sama aku, Ferly! Kalau kamu memang mau ceraikan aku, ceraikan saja tanpa harus berpura-pura perhatian gini sama aku!" bentak Keyvan setelah menggebrak meja makan.
"M ... maksud aku apa sih, Mas? Aku gak paham maksud kamu apa? Tolong kamu jelaskan secara rinci dengan kepala dingin, jangan pake emosi gini dong!"
"Gausah sok gak paham, Ferly! Sekarang kamu ikut aku ke atas, ayo!"
Keyvan menarik tangan Kaira secara kasar menuju kamar mereka di lantai atas tanpa memedulikan istrinya yang terus meronta kesakitan dan meminta ia melepaskan cekalan tangannya yang semakin erat hingga pergelangan tangan Kaira memerah dibuatnya.
"Mas Cio, lepaskan aku Mas! Lepaskan aku!"
"Diam!"
Brak!
Ceklek."M ... Mas, ka ... kamu m ... mau ap ... apa? J ... jangan lukai aku lagi ... maafkan aku jika aku bersalah, te ... tetapi kumohon ... jangan sakiti aku lagi! Ingat Mas, aku sedang mengandung anak kita ... darah daging kamu!" Tubuh Kaira bergetar hebat saat Keyvan menutup dan mengunci pintu kamar mereka, Kaira takut Keyvan melakukan hal nekat yang bisa mengancam keselamatan anak mereka yang baru berusia enam bulan itu.
Keyvan menyeringai bak predator yang mendapatkan mangsa barunya, Kaira hanya bisa berdoa dalam hati agar putranya selamat dan sang suami tak melakukan suatu penyiksaan yang dapat melukai dirinya dan anak mereka. Sungguh, jika sampai Keyvan melukai putranya nanti, Kaira tak akan pernah mau melupakan serta memaafkan Keyvan begitu saja.
Plak!
Aakkhh
Plak!
Aakkhh.
Brugh!
Bugh!
Srek!Lagi dan lagi Keyvan mengulangi kesalahan yang sama pada Kaira, pria tak memiliki hati itu terus menyiksa Kaira tanpa peduli akan keadaan istrinya yang saat itu tengah hamil darah dagingnya sendiri. Ingin melawan dan menghindar, akan tetapi tenaga Kaira tak mencukupi dan yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah seraya berdoa untuk keselamatan putra yang saat ini berada dalam kandungannya.
Mama mohon bertahan Sayang ... kamu harus kuat seperti Mama ... jangan tinggalin Mama ya, Nak! Mama sayang kamu ... maafin kesalahan yang Papa kamu lakukan pada kita sekarang, bantu Mama sadarkan Papa kamu.
Ya Allah ... kuatkanlah putra dalam kandungan hamba ini ya Allah, jangan ambil dia dari hamba ya Allah ... kasihanilah hambamu yang lemah ini, kasihanilah hambamu ini ya Allah! Biarkan hamba merasakan bagaimana bahagianya menjadi seorang ibu seutuhnya. -batin Kaira sedih.
"Mas ... cukup Mas ... ingat Mas ... aku tengah mengandung anak kita ... darah daging kamu sendiri!"
Aakkhh ....
Keyvan membawa sang istri ke kamar mandi dan ia kembali menyiksa Kaira di bawah guyuran air kran yang mengalir. Seperti Déjà vu, Kaira pernah mengalami siksaan ini sebelumnya dan ia semakin takut hal yang tak diinginkan terjadi kepada putra dalam kandungannya.Brugh!
Ctas!
Brak!Lagi dan lagi Keyvan mencambuk Kaira dengan tak berperasaan, bahkan dengan teganya Keyvan mencambuk tubuh Kaira tanpa memikirkan keadaan sang istri yang saat itu sedang mengandung darah dagingnya sendiri. Sebagai penutup, Keyvan mendorong keras Kaira tepat pada dinding bathub hingga wanita berbadan dua itu jatuh tak sadarkan diri dengan kondisi yang amat mengenaskan karena banyaknya darah pada sekujur tubuhnya terutama pada bagian kaki juga kepala.
Puas karena telah meluapkan emosi dalam dirinya, Keyvan pun meninggalkan Kaira yang tak sadarkan diri tanpa peduli bahwa perbuatannya ini akan berakibat fatal atau tidak pada anak dan istrinya nanti.
Melihat sang majikan turun dari lantai atas dengan wajah merah padam, Marni sang asisten tak berani bertanya pada sang tuan dan ia pun memutuskan untuk berlari ke lantai atas mengecek keadaan sang nyonya besar. Sungguh, Marni sangat khawatir pada nyonya dan kandungan nyonyanya karena ia tahu bagaimana kejamnya Keyvan saat sedang emosi.
Tok.
Tok.
Tok."Non, Non Kaira. Non Kaira gak papa? Non, Non Kaira?"
Tiba-tiba saja rasa khawatir menjalar dalam diri Marni saat Kaira tak menyahuti panggilannya, wanita lansia itu terus memanggil sang nyonya di dalam kamar. Tak menemukan titik terang tentang keberadaan Kaira di sekitar kamar baik di walk in closet maupun di ruang kerja Keyvan, Marni berinisiatif mencari sang nyonya di kamar mandi. Dan benar saja, Kaira berada di kamar mandi tepatnya di bawah guyuran shower juga samping bathup dalam keadaan yang mengenaskan.
"Astaga, Non Kaira!"
"Den Putra, Aden Putra Bibi mohon Aden cepat ke rumah Non Kaira ya!"
Ada apa, Bi Marni? Adik saya baik-baik saja, 'kan?
"I ... ini Den, n ... Non Kaira ditemukan dalam keadaan mengenaskan di toilet di kamarnya. Bibi mohon Aden Putra cepet ke rumah ini ya!"
Apa? Ok ... oke Bi, saya segera ke sana!
Tut ... tut ... tut ....
***
Sesampainya Hanung dan Marni di rumah sakit terdekat, mereka buru-buru memanggil suster yang sedang bertugas untuk segera membawakan brankar dan sesegera mungkin menangani Kaira yang terluka parah. Lantas mereka segera mendorong brankar Kaira menuju UGD setelah melihat keadaan Kaira yang begitu mengenaskan dengan darah mengalir deras di sekujur tubuh Kaira.Hanung terduduk lemas di kursi tunggu dengan raut khawatir yang begitu kentara di wajah tampannya, lagi-lagi ia gagal menjaga sang adik dari kejamnya cobaan hidup. Sungguh, Hanung merasa tak pantas disebut sebagai abang yang baik di saat dirinya tak bisa melindungi Kaira dari suami adiknya yang kejam nan tak memiliki hati serta rasa peduli pada siapa pun.
"Bi, sebenarnya apa yang terjadi pada adik saya? Kenapa dia bisa terluka seperti ini? Apakah ini ulah Keyvan si brengsek itu?"
"Saya kurang tau, Den Putra. Yang saya tau tadi tuan Keyvan pulang dari kantor dengan emosi yang memuncak entah apa yang terjadi selanjutnya karena setelah melihat emosi dalam diri tuan Keyvan, saya langsung pergi dari rumah untuk ke minimarket dan tak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka."
"Namun, tindakan saya salah karena sepulangnya saya dari belanja saya melihat tuan Keyvan turun dari lantai atas dengan wajah yang masih merah padam. Melihat itu tiba-tiba saja perasaan saya tidak enak dan berakhir dengan saya yang menemukan non Kaira di toilet kamarnya," papar Marni menjelaskan segalanya.
Hanung terpancing emosi mendengar penjelasan bi Marni, dengan penuh emosi dirinya menyumpah-serapahi adik ipar bodohnya itu tanpa peduli akan orang-orang di sekitar yang melihatnya dengan tatapan bingung saat melihat pria tersebut berbicara sendiri. Berbeda dengan bi Marni yang melihat Hanung dengan tatapan waspada bercampur rasa takut, ia takut nantinya Hanung akan melakukan hal nekat pada tuannya dalam keadaan emosi seperti ini.
"Keyvan, lagi-lagi pria brengsek itu menyakiti Kia dengan kurang ajar tanpa adanya perasaan dan hati nurani. Tak sadarkah dia bahwa saat ini Kia tengah mengandung putranya? Awas aja lo Keyvan, lihat pembalasan gue setelah ini!"
Bagaimanakah keadaan Kaira selanjutnya?
Akankah Kaira dan putra dalam kandungannya selamat?
Ataukah Kaira akan mengalami keguguran yang mengakibatkan rasa penyesalan muncul dalam diri Keyvan nantinya?
Skuy kepoin kisahnya di part selanjutnya, happy reading!
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisakah Aku Bahagia? (END)
Teen Fiction"Ayah, bunda, bisakah aku bahagia?" "Ayah, bunda, aku lelah. Bolehkah aku pergi menyusul kalian saja?" "Tuhan, bisakah aku bahagia? Walau sesaat saja, bisakah aku mendapatkan kebahagiaanku di dunia yang kejam ini?" "Tuhan, tak bisakah aku mendapatka...