28. Selamat Jalan Arini

1.3K 57 0
                                    

“Abang awas ada orang di depan sana!” sambung Kaira berteriak membuat Reyhan mengerem mobilnya secara mendadak.
 
Brugh!
 
“Nah ... mamam tuh kursi bagian belakang! Pasti sakit, ‘kan? Rasain lo!” Hardik Kaira saat menyadari bahwa Rian terjatuh dan terhantuk ke kursi bagian belakang.
 
“Ada apa Dek?”
 
“Eh iya Bang, ayo kita keluar dan lihat keadaan wanita itu!”
 
Kaira buru-buru keluar dari mobil dengan rasa khawatir akan keadaan wanita yang ia lihat sedang menggendong seorang bayi dengan jalan tertatih tepat di depan mobil yang membuat dirinya refleks berteriak. Alangkah terkejutnya Kaira saat wanita itu mengangkat kepalanya yang terlihat adalah wajah seseorang yang amat ia kenali.
 
“Arini?” tukas Kaira memastikan bahwa penglihatannya tidak bermasalah.
 
“Ai ... tolongi gue Ai ... gue mohon tolongi gue!”
 
“Tolong apa, Rin? Kenapa lo bisa ada di sini? Dan ... siapa bayi laki-laki ini? Kenapa bayi ini bisa ada sama lo?”
 
“Gue sengaja ke sini untuk mencari bantuan, rumah sakit tempat gue dirawat kebakaran dan gue lari dari sana.”
 
“Rumah sakit? Lo sakit apa, Rin?”
 
“Gue baru saja melahirkan pagi ini, bayi ini adalah anak gue dan mas Alex, mendiang suami gue! Gue minta tolong sama lo untuk menjaga, merawat, dan melindungi serta menyayangi anak gue seperti halnya lo menjaga, merawat, melindungi dan menyayangi anak kandung lo sendiri. Gue mohon Kaira, cuma lo satu-satunya harapan gue saat ini!” mohon Arini berkaca-kaca.
 
“Maksud lo jaga dan rawat anak lo itu apa, Rin? Lo ibunya dan lo yang harus rawat serta jaga dia, bukan gue!”
 
Arini tersenyum penuh arti dan menjawab perkataan Kaira dengan santai tanpa beban sedikit pun. “Mas Alex sudah jemput gue, Kaira. Dia minta gue untuk ikut bersamanya ke surga dan gue gak bisa nolak hal itu!”
 
Deg!
“astaghfirullah Arini, istighfar Rin! Lo gak boleh ngomong kaya gitu, ingatlah akan keberadaan anak lo saat ini!”
 
“Gak bisa, Kaira! Satu hal yang harus lo lakuin, sematkan nama Ken dan Alexander di nama anak gue ini. Niscaya di atas sana gue dan suami gue nantinya akan bisa tenang serta bahagia melihatnya, gue permisi dulu!”
 
Cup.
Arini mengecup kening putranya lembut sebagai tanda perpisahannya kepada sang putra yang baru beberapa jam lalu ia lahirkan ke dunia ini. Kaira hendak menahan pergelangan tangan sahabatnya, akan tetapi ia terlambat karena Arini berlari terlebih dahulu mencoba untuk menyeberangi jalan raya yang tiba-tiba saja ramai akan kendaraan.
 
Dari kejauhan, Reyhan melihat sekilas ada mobil yang melaju kencang ke arah Arini dan saat dirinya hendak menghampiri Arini pun ia terlambat karena kecepatan berlarinya tak sepadan dengan kecepatan mobil tersebut hingga hal yang tak diinginkan pun terjadi. Arini terpental jauh dari tempat kecelakaan yang membuat Kaira tak dapat menahan bobot tubuhnya, untung saja Reyhan buru-buru menangkap sang adik yang sedang menggendong bayi sahabatnya.
 
“Bang, Arini Bang! Di ... dia .... ”
 
Kaira tak dapat melanjutkan perkataannya disebabkan keterkejutan yang masih menguasai dirinya, ia hanya bisa mendekap erat bayi laki-laki titipan sang sahabat dengan penuh kehangatan serta kasih sayang sembari menghampiri tubuh Arini yang sudah terpenuhi oleh cairan merah  kental. Sesampainya di hadapan tubuh lemah Arini, Kaira menepuk pelan pipi sang sahabat dengan harapan bahwa wanita itu bisa sadar dari pingsannya.
 
“Rini, sadarlah! Kumohon jangan membuatku khawatir ... sadarlah Rini, sadarlah!”
 
“Bang ... Rini gak mau sadar ... di ... dia tetap menutup matanya, Bang! Gimana ini?” panik Kaira menumpahkan tangisannya.
 
“Dek, kamu yang tenang ya ... sebentar lagi ambulance datang kok. Sekarang kamu tenangin diri dulu, okey? Jangan sampai kau membangunkan bayi mungil dalam dekapanmu ini!” tutur Reyhan menenangkan adiknya.
 
“Tap ... tapi Rini bakal baik-baik aja, ‘kan? Rini akan segera sadar setelah kita sampai di rumah sakit nanti, ‘kan Bang?”
 
“Insya Allah dia akan baik-baik saja, atas izin Allah apa pun bisa terjadi. Kita berdoa saja supaya Arini bisa kita selamatkan, ya?”
 
“Iya Bang.”
 
Wiuw ... wiuw ... wiuw ....
 
Suara ambulance  terdengar di telinga para pengendara yang berada di sekitar kecelakaan, Kaira yang juga mendengar suara ambulance pun seketika bangun dari tempatnya lalu mengusap kristal bening yang ada di pelupuk matanya. Dalam dekapan Reyhan, Kaira melihat bagaimana para perawat yang bertugas membawa tubuh Arini menuju mobil ambulance untuk mendapatkan penangan secepat mungkin. Kaira meminta izin pada sang abang agar dirinya dan bayi dalam dekapannya bisa ikut ke rumah sakit menggunakan ambulance yang membawa Arini.
 
Melihat keadaan sang adik yang begitu mengkhawatirkan Arini, akhirnya Reyhan mengizinkan Kaira ikut ambulance menuju rumah sakit terdekat dengan dirinya yang mengikuti mobil ambulance dari belakang karena ia takut terjadi sesuatu pada Kaira dan putra Arini nantinya. Karena rasa khawatir yang mendominan, Reyhan melupakan Rian yang sedang mabuk berat dan terbaring tak sadarkan diri di kursi belakang dengan tubuh yang hampir terguling ke depan karena Reyhan membawa mobil dengan kecepatan maksimum menyusul ambulance di depannya.
 
***
Kaira menunggu Arini di depan ruang UGD dengan raut amat khawatir sembari mendekap erat bayi dalam gendongannya. Sungguh, ia benar-benar khawatir akan keselamatan sahabat kecilnya saat ini, ia berharap dokter yang menangani Arini dapat melakukan hal terbaik untuk keselamatan sahabatnya.
 
Ceklek.
“Dokter, bagaimana keadaan sahabat saya, Dok? Dia baik-baik saja, ‘kan?”
 
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Tuhan berkehendak lain, sahabat Anda telah tiada.”
 
Deg!
 
“Ng ... nggak, Dokter pasti bercanda, ‘kan? Sahabat saya pasti baik-baik saja, ‘kan? Katakan bahwa Anda berbohong, Dokter!” desak Kaira kembali terisak.
 
“Saya tidak bercanda, sahabat Anda memang sudah terlebih dahulu menghadap sang pencipta. Saya turut berduka cita atas kematian sahabat Anda, kami akan mempersiapkan jenazahnya untuk segera dibawa ke rumah duka. Permisi!”
 
Kaira tak dapat menahan bobot tubuhnya, ia terduduk lemas di kursi tunggu dengan cairan kristal bening mengalir deras dari pelupuk matanya. Wanita itu tak menyangka bahwa Arini, sahabat yang amat ia sayangi telah pergi terlebih dahulu menghadap sang pencipta menyusul orang-orang yang ia cinta dan sayangi lainnya. Kaira langsung berlari masuk ke dalam ruang di mana tubuh kaku Arini terbaring tak bernyawa di atas brankar rumah sakit, tangan yang tidak menggendong bayi laki-laki ia gunakan untuk mengguncang tubuh Arini.
 
“Rin, Rini Bangun! Aku yakin kamu wanita yang kuat, ayo bangun Rini! Tidakkah kau lihat putramu yang baru saja kau lahirkan ke dunia ini? Tidakkah kau ingin mendekap erat putramu dalam dekapan hangat lagi penuh kasih sayang? Bangun Rini, kumohon bangunlah!”
 
“Nggak Rin ... please jangan pergi, Rin! Jangan meninggalkan Aira sendiri di dunia yang kejam ini Rini ... Aira mohon bangunlah! Bangun Rini ... bangun! Kamu wanita kuat ... jangan pergi ... mana janji Rini untuk selalu bersama Aira? Mana janji Rini untuk membantu Aira balas dendam? Mana Rini ... mana? Please wake up Rini ... wake up now! Kumohon jangan tinggalkan Ai sendiri Rini ... Ai mohon ... bangun Rini ... bangun!” raung Kaira histeris.
 
Reyhan yang baru saja sampai langsung merengkuh sang adik guna menenangkan wanita itu, ia bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan sosok yang amat berharga dalam hidup kita. Kaira terisak pilu dalam pelukan hangat abangnya, entah sudah berapa kali wanita itu menangis seharian ini, belum selesai kesedihannya karena ulah suami tercinta, kini Kaira harus menangis kembali karena kehilangan sahabat tercintanya.
 
Ya Allah, begitu banyak kesedihan yang kau alami selama ini, Sayang. Kini tiba masanya di mana kau bahagia dan memulai lembaran baru di negeri dan suasana kehidupan baru untuk menghapus luka akibat kejamnya dunia ini, Sayang. Abang berjanji akan segera membawamu keluar dari kehidupan pahit ini menuju kehidupan yang penuh akan uraian air mata kebahagiaan, itulah janji Abang padamu! –batin Reyhan sendu kala melihat kerapuhan sang adik.
 
“Sayang ... udah ya, jangan bersedih lagi! Hapuslah air matamu, Sayang. Ingat, dalam dekapan hangatmu ini ada malaikat kecil yang dititipkan oleh mendiang Arin untuk kau jaga dan cintai sepenuh hatimu! Ingat pula bahwa di dalam kandunganmu ini terdapat malaikat kecil yang suatu saat nanti akan menemani kalian dalam lingkup kebahagiaan! Tegar dan kuatlah demi anak-anakmu, Sayang!”
 






Bersambung....

Bisakah Aku Bahagia? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang