8. Kota Arkapura

31 11 2
                                    

Aku berdiri di depan cermin, melihat pantulan diriku yang mengenakan jubah kulit sepanjang lutut. Hm.. terlihat keren juga. Aku merasa seperti aktor sebuah film bertemakan masa lampau.

"Kamu terlihat tampan memakai jubah itu, Kayzan," puji Danemon.

"Terima kasih."

"Benda ini terlihat buruk sekali," ungkap Arfi berbeda dengan pendapatku. "Aku merasa seperti orang melarat saja."

"Fi, Arfi. Ini hanya sebuah jubah saja kok. Lagian, itu gak akan membuat reputasimu sebagai anak kaya turun bukan," sahutku.

Spontan Mirla tertawa.

"Bukan itu yang kumaksud, melainkan ini," Arfi menunjukkan kacamata kayu yang dia kenakan. "Benda ini ternyata sudah ditemukan di zaman sekarang. Terlihat kuno, dan mudah patah. Barang yang jelek sekali."

"Seharusnya kau hargai pemberian Paman Ref, Arfi. Bukan malah mengoloknya. Dia memberikan ini supaya kau gak mencolok nantinya," ujar Mirla

Arfi menghela napas, mengiyakan.

Tadi Paman Ref memberikan kami tiga buah jubah kulit dan menyuruh untuk mengenakannya, juga memberikan kacamata kayu pada Arfi. Selain itu dia juga menyuruh kami melapisi ransel dengan kain kasar. Katanya agar penampilan kami tidak mencolok. Aku pun bergegas menuruti. Tanpa tahu apa alasannya menyuruh kami mengenakan atribut ini.

Setelah semua siap. Aku mengangkut tas, dan berjalan keluar rumah. Mirla dan Arfi bergegas menyusul.

Paman Ref sudah stand by di gerobak kayu. Dua ekor kuda putih terkekang di depan gerobak, siap menarik. Paman Ref memegang kendali kuda-kuda tersebut.

"Jangan lupa kalian tutup dan kunci pintunya. Hewan buas bisa masuk jika pintu rumah dibiarkan terbuka," suruh Paman Ref.

Aku menutup pintu begitu Danemon sudah keluar. Naga itu terbang menyusul yang lain.

Mirla dan Arfi beranjak naik dan duduk di belakang kereta. Tepat di antara balok-balok kayu. Tidak terlihat nyaman sih. Tapi setidaknya muat untuk kami bertiga. Ada tikar kecil di sana. Aku pun naik dan duduk di paling belakang, menaruh tas untuk dibuat sandaran. Griffer nampak bergelut dan duduk di pangkuan Mirla.

Seperti kata Paman Ref tadi. Sejak kapan Mirla akrab dengan hewan ini? Aku jadi penasaran.

"Kayzan. Jika kamu tidak keberatan. Apa kamu bisa memasukan Danemon ke dalam Karung punggungmu?" Paman Ref memandang Danemon "Aku tidak ingin keberadaan nagamu diketahui oleh otoritas Kerajaan Zerafas."

Karung punggung? Mungkin ransel.

"Hm, baiklah." Aku menanyakan hal sama pada Danemon.

"Tapi bagaimana jika aku sesak napas di dalam karungmu?" Danemon keberatan.

"Tenang saja. Aku tidak membawa barang banyak kok. Kamu pasti muat di sana."

Gerobak kayu mulai bergerak selagi Danemon berpikir. Rumah kayu perlahan menjauh di belakang sana.

"Baiklah Kayzan. Tapi jika terjadi apa-apa bilang padaku?" Danemon masuk ke dalam ranselku yang memang muat untuknya. Aku menutup resleting dan menyisakan separuh kecil untuk ruang udara dan tempat mengintip Danemon.

"Ngomong-ngomong sejak kapan ransel di panggil Karung Gendong," bisik Mirla

"Karung punggung kali," aku membenarkan.

"Ku kira Nagamu tadi hendak di masukkan ke dalam karung. Eh, ternyata ke dalam ransel. Zaman sekarang mungkin istilah di masa depan banyak yang berubah. Kita harus bisa memahaminya," sambung Arfi sekaligus memberi saran.

THE DRAGON ELEMENT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang