24.Desa Neztofor

20 3 0
                                    

Awan kembali menutup bulan seiring kami melangkahkan kaki meninggalkan Padang rumput Tavikama. Kali ini giliran Patra yang memimpin. Hutan lebat kembali menyambut, angin kencang berhembus menerpa wajah. Aku merapatkan jubah, menghalau angin masuk. Lokasi Desa Neztofor mungkin jauh dari sini.

Medan yang dilalui mulai terjal. Banyak bebatuan dan kerikil. Pepohonan berkurang, berganti dengan batu-batu raksasa yang membentuk gundukan. Aku memandang ke depan. Permukaan tanah semakin tinggi seiring kami melangkahkan kaki. Semoga saja aku tidak terpeleset. Bisa-bisa tubuhku berguling jatuh ke bawah. Aku harus fokus.

Dua jam berlalu. Kaki terasa kebas akibat terlalu lama berjalan. Kantuk menyerang, membuat mataku sayu. Tuan Forde juga tampak kelelahan. Meski dia adalah mantan kesatria, faktor usia memang tidak bisa dilawan.

"Kita berhenti dulu. Aku butuh istirahat!" kata Tuan Forde, ngos-ngosan.

Patra mengiyakan permintaan. Berhenti di samping keruk batu. Aku pun merebahkan tubuh, bersandar di batang pohon di temani Danemon mendarat dan hinggap di atas batu yang ada di sampingku.

"Apa masih lama tujuan kita, Patra?" tanya ku.

Patra mengangguk. "Setelah ini kita akan menuruni bukit dan tiba di sebuah lembah. Di sana Desa Neztofor berada."

Puh! Jadi masih lama lagi.

"Sudah lama aku tidak mengunjungi desa itu," sahut Tuan Forde, menengadah langit. "Sejak kejadian pembantaian sepuluh tahun silam para Kesatria Naga enggan kembali ke sana. Banyak kenangan serta duka di tempat itu."

Dibalik wajah keriput yang ditumbuhi jenggot putih. Tersirat kesedihan mendalam. Aku menduga dari tatapan sedu wajah Tuan Forde. Untuk orang menyebalkan, ketus dan selalu mengabaikan perkataan orang (mungkin hanya kami dan Patra saja). Tuan Forde seperti memiliki sejarah kelam di masa lampau nya. Salah satunya di tinggal pergi oleh naganya, yang menjadi tunggangan, serta teman dekatnya.

"Kayzan," panggil Tuan Forde lirih. "Untuk seorang Kesatria muda sepertimu. Masih cukup panjang untuk mengerti dunia pertarungan. Saat ini kamu masih memiliki segalanya: teman, keluarga dan juga Danemon, Naga Elementmu. Tapi lambat lain kamu akan mengerti. Secara perlahan mereka akan meninggalkanmu. Entah untuk sementara atau selamanya. Entah secara bertahap atau tiba-tiba. Engkau pasti akan merasakan bagaimana rasanya berpisah dengan mereka."

Aku mendengar lamat-lamat perkataan Tuan Forde. Perpisahan. Ya, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Aku berganti melihat Danemon dan Patra. Beberapa hari lalu aku bertemu mereka, mengenal lebih dekat dan akrab layak keluarga. Lantas akankah esok, lusa atau hari mendatang aku berpisah dengan mereka? Aku menghela napas panjang. Mau bagiamana, itu pasti terjadi. Lagipula aku serta kedua temanku harus kembali ke masaku. Ada keluarga, sekolah dan kehidupanku di sana. Aku pasti akan berpisah dengan teman-temanku di masa sekarang.

Rasa kalbu hinggap di hati, aku berharap perpisahan itu tidak begitu menyakitkan.

****

Beberapa jam kemudian, selepas berjalan lama menuruni bukit terjal, kami pun sampai di lembah yang dimaksud. Berbeda dengan hutan Jalitama, lembah ini nyaris tidak ditumbuhi pepohonan, kebanyakan hanya ilalang dan bebatuan terjal. Patra memimpin, berjalan di atas tanah kasar. Sepatu botku yang terbuat dari kulit membantu menghindari dari duri tajam. Siulan angin terdengar dari celah batu, mengalun di telinga. Banyak gundukan batu disertai ilalang, membuat pemandangan mirip seperti di sabana.

Aku menyikap anak rambut yang menutupi mata. Angin di sini terus berhembus seakan tak berkesudahan. Seperti Hutan Angin Keras, tempatku camping bersama Arfi dan Mirla. Terlintas bayangan Varax si Monster berjubah di pikiranku. Pertemuan pertama kali dengan sosok itu membuatku hampir celaka gara-gara meledeknya. Kira-kira sampai saat ini dia mengingatku apa tidak, ya?

THE DRAGON ELEMENT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang