2. Benda misterius di hutan.

127 18 2
                                    

Opelet tiba di tepi hutan belasan menit kemudian. Kami turun satu-persatu memandang sekeliling. Walau masih di tempat awal, hutan lebat telah menyambut kedatangan kami.

'Cagar alam Harapan Depan' Begitulah nama yang terpapar di pintu gerbang.

"Nama yang aneh. Kenapa gak sekalian 'Cagar alam Harapan Bangsa'?" komentar Mirla.

Arfi tertawa, aku mengangguk pelan. Nama Cagar alam ini lebih mirip seperti nama sekolah saja.

Kami memasuki gerbang, berjalan mendekati pos penjagaan, meminta izin untuk camping. Penjaga hutan tidak banyak tanya, suruh tanda tangan dan menjelaskan peraturan. Selepas itu kami melanjutkan perjalanan.

Arfi memimpin, berjalan melintasi jalan setapak. Dia lebih tahu tempat dan lokasi mana yang akan kami buat camping. Aku mengekor, disusul Mirla paling belakang.

"Kalau jalan, jangan pelan-pelan, Mir. Jika kau tersesat bukan salahku, loh?" teriak Arfi.

"Enak saja," Mirla melotot marah. Terus melangkah dengan pelan. "Jalanannya gak bersahabat banget, licin juga."

"Namanya juga abis hujan. Gitu aja masa' gak tahu," ujar Arfi.

"Gak kamu jelasin aku sudah tahu, kau pikir aku bodoh gitu," ketus Mirla berjalan cepat menyalipku karena kesal oleh omongan Arfi.

Baru saja Mirla melewatiku, tiba-tiba tanpa disadari kakinya tersandung akar pohon yang menghadang jalan dan spontan tubuhnya terjungkal ke semak-belukar. Tapi itu bukan semak-belukar biasa. Ada jurang setelahnya. Gadis itu berteriak kaget. Dengan sigap aku menarik tangan, dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Kemudian dengan sekuat tenaga aku membawa Mirla menjauh tempat itu.

Mirla spontan terduduk lemas, terengah-engah.

"Kamu tidak apa-apa, Mir?" tanyaku

"Hampir saja aku mati," Mirla menghela nafas lega, wajahnya tepias cemas. "Terima kasih, Kay."

"Kalau berjalan hati-hati. Sudah tahu jalanan licin, malah berbicara tak lihat arah. Bagaimana kalauaku tadi tidak menolongmu?" ingatku. Meskipun ia menyebalkan, tetap saja aku gak tega dia kenapa-kenapa. Bisa-bisa nanti kami malah disalahkan oleh pihak keluarganya.

"Coba kalau Mirla gak diselamatkan oleh Kayzan. Mungkin aja dia sudah terbang bebas ke langit, melihat kita dari atas," celetuk Arfi.

"Tidak lucu, Fi," Mirla melotot marah. "Bukannya dibantu, malah berpikiran yang enggak-enggak. Dasar tidak setia kawan."

"Yang pasti tidak setia kewan, bukan," Arfi nyengir lebar.

Mirla tidak menggubris, kembali berjalan.

"Apa kamu tidak istirahat dulu, Mir? Menenangkan situasi, " tawar ku.

"Enggak. Aku sudah membaik. Ayo jalan, entar kita gak sampai-sampai ke tujuan," jawabnya ketus.

Aku dan Arfi saling tatap sejenak, bergegas mengikuti gadis cerewet itu. Takut kejadian sama kembali menimpa Mirla.

Lima jam perjalanan kaki, yang setiap lima belas menit dihabiskan untuk beristirahat. Kamipun sampai di tujuan. Pepohonan banyak sekali tumbuh, namun saling berjauhan, sehingga menyisakan banyak tanah lapang. Rumput kering memenuhi sekitar. Aku berseru kagum, tepat yang dipilih Arfi cocok sekali untuk camping. Angin terasa sejuk, berhembus pelan, ranting pepohonan bergoyang, membawa dedaunan kering. Aku menaruh ransel di tanah, duduk di atas bebatuan.

Arfi meletakkan ransel, menoleh kiri dan kanan, mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Sedangkan Mirla memandang cemas tempat ini.

"Mir. Kenapa terlihat risau gitu? Apa masih trauma dengan kejadian tadi?" tanyaku.

THE DRAGON ELEMENT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang