17. Desa Baxara (Part 2)

4 0 0
                                    

Di gua tempat persembunyian Master Windu, dan pengikutnya. Ifa bersenandung riang, memasak makan malam. Hari ini dia sendiri, Mirla tidak membantunya. Dia fokus mengerjakan kekuatan Magna yang barusan diberikan oleh gurunya, yaitu mengendalikan ular berkepala tiga. Hewan buas yang terdapat di benua jauh di sana. Mirla terlihat kesulitan mengendalikan hewan itu. Jika saja salah sedikit saja. Dia bisa terkena racunnya yang berbisa layak ular cobra.

Ifa mengangkat ikan dari pemanggang, menaruhnya ke piring rotan yang sudah dilapisi daun pisang. Dia membawa makanan itu ke meja makan dan memanggil kedua temannya yang sibuk di kamarnya. Sehari ditinggal oleh Kayzan dan ayahnya. Suasana rumah sudah sepi sekali. Bagaimana kalau seminggu atau sebulan? Bisa-bisa kayak kuburan saja.

Arfi perlahan menghampirinya. Tanpa perlu dipanggil. Aroma sedap dari ikan bakar, mengundang kehadirannya.

"Dimana Mirla? Apa kamu tidak mengajak nya?" tanya Ifa.

"Dia di dalam kamar. Tak tahu lagi ngapain? Mungkin saja membaca panduan mengendalikan ular berkepala tiga," jawab Arfi.

Avara di bawahnya meringkik pelan. Gadis itu makin lama, makin aneh saja melatih kekuatannya. Juga si Griffin merah itu. Dia tidak melarang, malah mendukungnya.

"Hei Avara. Kau jangan-jangan sering menghina mereka. Bagaimana kalau pasangan Partner itu melampaui kekuatan kita," kata Arfi yang paham ucapan kuda Pegasus kecil itu.

Avara meringkik pelan. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tuan, juga. Seharusnya tuan meningkatkan kekuatan tuan, bukan otak tuan.

Ya untuk urusan latihan mengendalikan kekuatan Magna. Arfi lebih unggul dalam segi teori dari pada prakteknya.

"Tentu saja. Aku pasti bisa mengunggulinya." Arfi mengepal tangan. "Mirla bersiaplah untuk kalah esok hari," ucap Arfi.

Terdengar suara berdeham pelan dari belakang Arfi. Pemuda itu sontak kaget dan menoleh. Terlihat Mirla menatap galak dirinya, tinju mengepal siap memukul Arfi.

"Apa katamu Arfi? Kau ingin mengalahkanku, hah." Mirla berteriak marah.

"Enggak kok. Cuma itu untuk semangatku dalam latih-tanding besok. Kamu tahukan kekuatanku tak berkembang pesat seperti Kayzan."

Mirla masih menatap tajam dirinya. Lalu duduk di kursi makan di sebelahnya. Ifa yang menatap hanya tersenyum tipis. Lantas membagikan piring rotan pada mereka.

"Jika ku pikir. Kalian berdua lebih sering bertengkar dari pada Kayzan. Apa memang sejak dulu kalian tidak pernah akur?" tanya Ifa.

"Tidak. Mirla saja yang nyebelin. Mudah marah, apalagi hal sepele seperti tadi," jawab Arfi.

"Ya kamulah yang sering membuat orang marah. Sering Mengejek, menganggap lemah otak orang, sombong dengan kepintaranmu. Dasar!" Mirla mendengus marah. "Tapi tetap saja meskipun kami sering bertengkar, tidak akur satu sama lain. Kami tetap bersahabat. Lagi pula Itu tidak terlalu diperpanjang. Setiap pertemanan ada ciri khas tersendiri, bukan."

Arfi mengangguk setuju. Segera meraih ikan panggang miliknya. Perutnya sudah keroncong dari tadi. Dia lahap memakan ikan tersebut.

Griffer mengerung pelan. Tuanmu kalau makan rakus sekali. Seperti tidak makan sebulan saja.

Avara meringkik, menjawab. Dia terlalu banyak membaca sejak siang tadi. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh tuan Arfi. Apa hal itu yang membuatnya memiliki empat mata?

Arfi melotot pada Avara. Si kuda itu hanya meringkik pelan, minta maaf. Julukan empat mata sering dipanggil oleh orang sekitar pada pemuda ini. Karena zaman sekarang kacamata belum ditemukan. Julukan itu mungkin pantas baginya.

Mirla tertawa mendengar percakapan kedua hewan Destoforce atau percakapan Griffer saja. Mirla menduga Avara kembali mengejek Arfi.

Makan malam berlangsung hangat.

"Kira-kira sedang apa Kayzan sekarang?" Arfi bertanya sembari memikirkan sesuatu.

"Mungkin sedang asyik bermalam di tengah hutan bersama beruang madu. Itu pasti sangat seru," jawab Mirla asal.

"Seru dari mana. Kalau beruang itu lapar, bisa-bisa Kayzan menjadi makanan terenak bagi hewan buas itu," ujar Arfi.

"Tentu saja tidak. Selagi kau paham bagaimana cara menjinakkan hewan itu? Kalau kamu berhasil pasti bakal seru. Hewan itu seperti anjing rumah. Imut dan menggemaskan."

"Mirla. Kalau boleh tahu?" Arfi menatap heran Mirla. "Apa pikiranmu masih waras? Sejak kamu sering mengendalikan hewan, pikiranmu kurasa agak korslet. Beruang madu itu hewan buas, mana mungkin disamakan dengan anjing rumah."

"Tentu saja aku masih waras," Mirla mendelik tajam. "Jika tidak aku sudah tidak ada di sini, menemani hewan-hewan buas itu dari dalam perut mereka. Lagipula hewan buas ataupun hewan jinak sama-sama saja."

"Tapi kalau dipikir-pikir bagaimana caramu mengendalikan hewan-hewan itu?" tanya Ifa.

"Ada caranya. Seperti menatap dengan tenang, mengelus dengan penuh perasaan, dan yang paling penting mengerti tentang perasaan hewan. Setiap binatang memiliki ciri khas tersendiri."

"Jika tidak," sahut Arfi.

"Tentu saja kamu bisa menjadi santapan bagi binatang itu, asalkan hewan buas. Kalau hewan jinak. Kemungkinan terburuk, kamu bisa saja dilukainya."

"Apa kamu tidak keberatan berlatih mengendalikan hewan-hewan itu? Nyawamu bisa terancam," cemas Ifa.

"Tidak masalah. Aku sudah lumayan terlatih, kok. Hewan-hewan itu tergolong masih rendah bagi para Pengendali hewan. Ada seorang Pengendali hewan mampu mengendalikan hewan Mitologi yang lebih seram dari hewan-hewan buas itu. Contohnya hydra. Makhluk mirip ular atau naga berkepala sembilan dan terkenal paling buas dari pada Naga. Hewan itu tinggal di lautan luas yang tak terjamah oleh manusia."

"Berarti ada dong seorang pengendali hewan yang mampu mengendalikan makhluk itu?"

"Rumornya sih begitu. Aku tidak tahu itu fakta atau karangan belaka. Yang pasti, semakin kuat kemampuan para Pengendali hewan, semakin banyak hewan yang bisa dikendalikan. Bahkan seperti hydra sekaligus."

"Lalu Apakah Danemon, Griffer dan Avara bisa dikendalikan oleh pengendali hewan itu?" tanya Arfi.

Mirla menggeleng. "Kecuali Hewan Destoforce. Hewan itu memiliki kekuatan aneh yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, bahkan pengendali hewan terkuat sekali pun. Hanya partner nya saja yang bisa mengendalikan nya."

Avara meringkik pelan. Setuju dengan pendapat Mirla.

"Tapi kenapa saat di kota Arkapura? Avara sempat dikendalikan oleh si pemimpin Prajurit itu? Bukankah dia hewan Destoforce," Arfi teringat saat kuda itu nyaris menyerang nya. di kota Arkapura.

"Mungkin pada waktu itu tuan Avara baru saja dikalahkan oleh si pemimpin Prajurit itu. Otomatis dia bisa saja dikendalikan olehnya. Kunci kelemahan hewan ini ada dituannya. Jika tuannya tewas, dia tidak akan berarti apa-apa."

Arfi ber-oh pelan.

"Aku sedikit heran ya," celetuk Ifa.

"Kenapa?" Mirla bertanya.

"Bukankah yang sering menjelaskan sesuatu adalah Arfi. Sekarang malah Mirla yang sering menjelaskan."

"Iya-iya aku baru menyadarinya. Atau jangan-jangan pikiran mu yang malah korslet, Fi," duga Mirla.

"Hei enak saja," Arfi melotot marah.

Mirla nyengir lebar, Ifa tersenyum tipis. Jika saja ada Kayzan, mungkin lebih hangat lagi suasana makan malam ini. Semoga saja dia bisa menemukan senjata pusaka itu.

****

THE DRAGON ELEMENT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang