Jujur saja Abbas bagaikan orang asing dirumah orang tuanya. Dirinya bertanya tidak ada satu orang pun menjawab, apa lagi kejadian tadi di meja makan. Habis sudah diri Abbas di sindir-sindir membuat otaknya mendidih panas.
"Ini semua gara-gara Naya!" gerutu Abbas
Abbas terus-terusan menyalahkan Naya akan hal kejadian saat ini. Kenapa kehadiran gadis itu membuat Abbas semakin sial kehidupannya.
"Mas Abbas"
Baru saja Abbas mengoceh tentang gadis itu, sekarang sudah terdengar suaranya.
"Apa?" balas Abbas datar
"Hari ini kamu mau pulang kan?" tanyaku
"Iya"
"Niatnya aku mau temani umi beberapa hari di sini, tapi kata mbak Farah aku harus pulang aja mengurus tugas istri untuk suami. Soal umi itu mbak Farah yang temani" kataku
Dikarenakan tugas kantor Mas Abbas numpuk, membuat kami berdua niat untuk balik kerumah.
"Oh," singkat jelas padat,
Aku menghela napas. "Sabar Naya orang sabar di sayang Allah." meskipun sikap Mas Abbas masih sama hal nya seperti dulu, aku harus tetap tersenyum, mungkin saja ada saatnya nanti Mas Abbas berubah kepadaku.
***
Sore ini, aku dan Mas Abbas segera berpamitan pulang kepada umi, mbak Farah dan Mas Faris beserta kerabat-kerabat yang masih berada di rumah mertuaku.
"Umi jaga diri baik-baik ya, insya allah kalau tidak ada halangan minggu besok Naya ke sini lagi" pamitku kepada umi Fatimah
Umi Fatimah mengangguk. "Kamu juga harus jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa kabari kami semua ya" pesan umi Fatimah
"Iya siap umi" senyumku
Abbas sebagai anak juga tidak lupa berpamitan, "Umi," ucap Abbas membuat Fatimah menoleh." Abbas pamit pulang sama Naya" pamit Abbas
"Jaga diri baik-baik ya, kalau ada apa-apa hubungi Abbas."
Deham umi Fatimah. "Nggak perlu ada mbak mu ko" sahut umi Fatimah menusuk ulu ati Abbas
Abbas hanya membalas senyum tipis kepada semua orang. Sebelum kami berdua beranjak pergi dari rumah ini, kami berdua pun kembali berpamitan dengan mencium tangan umi Fatimah dan yang lain.
"Teh Nay, hati-hati di jalan" ucap Zahra
"Iya cantik" balasku, mencubit pelan kedua pipi Zahra
Kami berdua beranjak pergi dari rumah ini, berjalan menuju mobil. Dengan di akhiri lambaian Zahra sampai lambaian tangan Zahra sudah tidak terlihat lagi.
Aku hanya terdiam duduk manis didalam mobil. Sedangkan Mas Abbas fokus mengendarai mobil dan tidak ada percakapan apa pun dari kami berdua.
"Ekhem, sudah puas kamu bicara kejelekan saya di depan mbak Farah!"
Aku terdiam akan pertanyaan itu, mencoba melirik sedikit Mas Abbas. lalu menghela napas bersiap untuk bicara. "Tidak ada istri yang menjelekan kejelekan suami, hanya saja aku ingin membuka ruang sedikit kepada orang yang bijak memahami akan kejadian saat ini. Bukan aku diam membisu yang ada banyak kesalah pahaman membuat orang lain lebih menyalahkanku."
Ban mobil tiba-tiba berhenti mendadak membuat aku tersungkur kedepan.
"Maksud kamu biar orang lain menyalahkan saya gitu?" hardik Abbas
Kepalaku menggeleng tak menyangka dengan kelakuan Mas Abbas saat ini. "Astagfirullah Mas Abbas, kenapa kamu rem mendadak" protesku, untung saja di jalan ini sedang sepi tidak ada kendaraan yang melintas.
"Kamu protes sama saya" Mas Abbas tidak terima
"Ya, kamu kenapa rem mendadak, gimana kalau ada mobil dibelakang" kataku
"Seterah saya, mobil-mobil saya yang bawa juga saya kenapa kamu, protes!" ujar Mas Abbas sedikit sombong
Cape sudah aku cape, tidak di mana-mana selalu ada perdebatan di antara kami berdua.
Aku menghela napas kasar, tanganku mencoba membuka pintu mobil untuk keluar, namun lengan tanganku di tarik olehnya.
"Mau kemana kamu?" tanya Mas Abbas, jujur saja cengkraman tangan Mas Abbas begitu sakit di lengan tanganku.
"Lepasin Mas saya lebih baik naik angkutan, ditimbang naik mobil sama kamu" jawabku
"Nggak bisa, kamu harus pulang sama saya!" balas Mas Abbas dengan tatapan bak serigala
"Sakit" pekik aku, "tolong lepaskan tanganku" prostesku tak terima tanganku terus di cengkraman
"Kalau nggak di lepaskan, aku akan teriak" ancamku
Sampai detik ini pun Mas Abbas belum melepaskan cengkraman tanganku, membuat aku ingin langsung teriak. "Tol---" putus teriakanku, lantas di dekap mulutku dengan tangan Mas Abbas.
Kamu jahat Mas kamu jahat. Batinku
"Saya lepaskan bekapan ini dan kamu jangan mencoba untuk teriak" peringatan Mas Abbas
Akhirnya Mas Abbas melepaskan bekapan itu dari mulutku, jujur saja sesak napas sekali dibekap selama sepuluh detik, tidak ada udara masuk dari hidungku. Itu saja hanya sebentar tidak tahu lagi kalau di bekap berjam-jam sudah beda alam kemungkinan.
"Diam, nggak usah bicara!"
"Seterah saya, mulut-mulut saya yang bicara juga saya, kenapa situ, protes!"
Bola mata Mas Abbas membulat sempurna dihadapanku. "Woww" Abbas menepuk-nepuk tangan, "gadis di hadapan saya yang dulu diam, lemah, cengeng, sekarang berani melenceng" ucapnya
Saat ini napasku turun naik, tidak bisa dapat di kontrol. Pria sok berjiwa sosial, pada detik ini berani meremehkanku.
Plak
Aku pada saat ini berani melayangkan tanganku di pipi milik Mas Abbas. Tapi entah apa yang sedang merasuki tubuhku, kenapa tangan ini seketika melayang di pipi Mas Abbas.
"Astagfirullah Mas Abbas maafkan aku" sesalku
Pria di hadapanku sedang memegang pipi yang mungkin saja terasa panas.
"Mas maafkan aku" aku sangat menyesal melakukan ini, membuat aku sangat merasa bersalah. Aku mencoba memegang lengan tangan Mas Abbas, namun ia mengibas tanganku.
"Sudah saya bilang kamu itu diam!!!"
Aku menggangguk, lalu terdiam duduk dengan mata--aku alihkan keluar jendela mobil. Kemudian Mas Abbas pun menghidupkan mobil, kembali melanjutkan perjalanan pulang yang sempat tertunda.
Maaf apa bila ada kata typo ya gyus...maaf juga kalau ceritanya GAJE bangett...
Makasih yaa untuk yang selalu ikuti cerita MAM ini. Dan jangan lupa vote and komen gyuss...
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry A Mujahid
Teen FictionSetiap wanita ingin mempunyai Imam yang baik begitu juga sebaliknya. Wanita bernama Naya Audiva yang telah trauma tentang cinta, kini di jodohkan oleh Abahnya dengan seorang Mujahid bernama Abbas Aly Zainul Muttaqien laki-laki yang begitu taat pada...