Bab 22 - Sindiran

224 12 0
                                    

TIDAK ter bayangkan satu restoran sudah di boking oleh Mas Abbas untuk para staff makan siang bersama. Aku sangat mengapresiasi sih kebaikan Mas Abbas yang tidak pernah aku bayangkan ini.

“Aku ke toilet bentar” bisik Mas Abbas segera berdiri

Aku tersenyum kecil. “Iya Mas”

Aku merasa canggung sih berada di tengah-tengah keramaian para staff yang sedang berbicara pekerjaan yang bahkan aku tidak mengertinya sama sekali.

“Istri Pak Abbas beruntung ya dapati suami  direktur seperti Pak Abbas” ucap salah satu staff wanita yang entah aku tidak kenal siapa dia

“Iya benar banget. Pak Abbas itu direktur paling tampan, terus juga pintar, saleh, berjiwa sosial, pokonya hampir mendekati kata sempurna." sahut teman yang di sebelahnya

“Tapi sayangnya, nikahnya sama gadis desa. Hahah” sindirnya membuat hati aku tersentuh

Aku sedikit menoleh mereka namun mereka memberikan tatapan sinis kepadaku.

“Nggak usah di dengeri bu” ujar Nana di sampingku

Aku mengangguk, menarik dua sudut bibirku tersenyum. Biarkan aja mereka mau berbicara seperti apa, emang kenyataan aku gadis dari desa ko jadi buat apa aku marah.

Beberapa menit kemudian Mas Abbas akhirnya datang dan kembali berkumpul bersama.

***

Setelah jam makan siang berakhir, maka restoran ini kembali sepi karena sebagian staff sudah pada pamit pulang hanya tersisa aku, Mas Abbas dan lima orang staff.

“Alhamdulillah. Pak akhirnya acara peletakan batu pertama berjalan dengan lancar” ucap Nana

“Iya. Alhamdulillah,”  jawab Mas Abbas mengangguk sambil tersenyum

Senang dan bahagia mungkin itulah yang di dapatkan oleh suamiku, aku pun sebagai istri ikut merasakannya.

“Kami semua pamit ya Pak, bu” seru mereka berpamit pulang di karena kan juga waktu sudah hampir siang

“Iya hati-hati” jawabku dan Mas Abbas serempak

Dikarenakan mobil belum di hantar ke sini sama kak Alfath membuat kami berdua menunggu.

Sangat menjengkelkan sekali pria di sampingku ini malah sibuk main ponsel, sedangkan aku di cuekin gini aja. Ingin rasanya ponselnya aku rampas dan ku buang jauh.

“Mas itu kak Al” aku memberi tahu

Mas Abbas langsung mendongakkan ke depan. “Mana?” ia memberikan lambaikan tangan kanannya. “Al...” panggilnya.

Kak Alfath pun menghampiri kami berdua, mereka berdua pun berpelukan ala-ala cowok.

“Ini kunci mobil nya” kak Alfath menyodorkannya.

Mas Abbas menerimanya. “Oke, terima kasih, ini kunci motor ente” Mas Abbas pun gentian memberikan kuncinya. “Semua jadi berapa?” tanya Mas Abbas

“Sudah tenang, kaya sama siapa aja” ujar Alfath

“Jangan gitu dong ane kan nggak enak” ucap Mas Abbas

“Sudah nggak usah Bas” tolak kak Alfath

“Bodoamat! Ane transfer aja” Mas Abbas pun kekeh langsung transfer uang dari ponsel.

Kak Alfath geleng kepala. “Batak banget suami ente Nay” ujar kak Alfath

“Sudah duduk Al” suru Mas Abbas, kak Alfath pun merespons anggukan pelan.

Mas Abbas pun memanggil pelayan untuk memesan makanan atau minuman yang ingin kak Alfath santap. Setelah pemesanan selesai, Mas Abbas membuka obrolan sembari menunggu makanan untuk kak Alfath tiba.

***

Mas Abbas memarkirkan mobilnya di dalam garasi rumah. Begitu kami berdua masuk ke dalam, Mas Abbas langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Sepertinya Mas Abbas benar-benar sangat lelah sampai ia mengejapkan mata di atas kasur. Aku pun membiarkan Mas Abbas istirahat, bersiap menyiapkan air hangat untuk nanti Mas Abbas mandi.

Setelah berjalan menuju ranjang, ternyata Mas Abbas masih terbaring di tempat tidur. Aku pun mendekatinya untuk memastikan ia tidur atau tidak dan sepertinya emang benar dia sudah tertidur pulas, aku pun berusaha melepaskan sepatu Mas Abbas agar tidurnya lebih pulas.

“Kamu ngapain” tanya Mas Abbas yang membuat aku tak sadar matanya sudah terbuka

Aku menelan salivaku. “Aku bantu lepaskan sepatu kamu Mas” balasku

Mas Abbas pun bangkit dari tidurnya dan tanganku langsung di hempas. “Nggak usah, saya nggak perlu bantuan kamu dan saya bisa sendiri” tegasnya

Aku terduduk. “Iya maaf Mas”

Mas Abbas pun melepas sepatu dan menaruhnya di tempat biasa kemudian ia melangkah menuju kamar mandi. Aku pun menghela napas sabar, segera menyiapkan baju untuk Mas Abbas dan baru aku menuju dapur membuat teh hangat untuk Mas Abbas.

Kesunyian di dapur membuat aku jadi teringat soal kejadian kemarin. Aku harus kembali menyelidiki semuanya, aku harus berusaha nyari tahu sendiri tanpa harus minta bantu orang lain.

Aku yakin, salah satunya ada di dalam ponsel Mas Abbas. Tapi mana bisa aku untuk cek ponsel Mas Abbas sedangkan itu ponsel nggak pernah jauh dari tangannya dan selagi itu ponsel tidak di tangan Mas Abbas, apa mungkin aku harus cek? Gimana nanti aja deh.

Dua teh hangat pun sudah siap, aku meletakan di atas nampan dan segera aku bawa menuju kamar. Sampainya aku di kamar, aku meletakan nampan dan dua teh hangat di atas meja.

Tidak lama lagi Mas Abbas keluar kamar mandi sambil menggosokkan kepalanya yang basah dengan handuk kecil. Ia lantas berjalan menghampiri baju yang sudah aku siapkan di atas kasur.

Drett..

Suara ponsel milik Mas Abbas berdering keras di dalam tas kerjanya. Ia menyelesaikan aktivitasnya terlebih dahulu memakai baju.  Kemudian Mas Abbas mengambil ponselnya.

Assalamualaikum

“Waalaikumsalam”

Gimana Bas acara peletakan batu pertama”

“Alhamdulillah Bi, berjalan dengan lancar”

Oh ternyata Abi Zainullah, aku kira siapa. Batinku

Aku pun berjalan menuju kamar mandi segera membersihkan tubuh sambil membawa baju untuk salinan di kamar mandi, karena dari awal aku menikah sama Mas Abbas aku selalu memakai baju di kamar mandi tidak berani di depan Mas Abbas.

Bersambung...

Marry A MujahidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang