"Terima kasih, Dokter." Benedict menjabat tangan dokter tersebut. Setelah kejadian Eva mendadak histeris, gadis itu kembali pingsan. Benedict segera memanggil dokter pribadinya untuk mengetahui apa yang terjadi pada Eva.
Kemungkinan besar gadis itu punya trauma. Dan tanpa sengaja, trauma itu kembali kambuh. Benedict tidak tahu apa yang menjadikan Eva seperti itu, namun itu sepertinya berkaitan dengan ayah Eva.
"A-ayah, jangan lakukan itu. Eva janji akan jadi anak yang baik." Sedaritadi Eva mengigau soal hal itu. Apakah... dulu Eva mendapat kekerasan dari ayahnya hingga dia bisa trauma seperti ini?
Ah, Benedict mendadak tersadar akan sesuatu. Ini semua berkaitan. Eva pasti memiliki isu hebat dengan ayahnya. Mungkin saja pria itu bukan orang tua yang baik sehingga istrinya menceraikannya.
Ya... itu pasti yang terjadi di hidup Eva. Ayah di dunia ini memang banyak yang bajingan dan Eva mendapat salah satunya.
Pria itu duduk di tepi ranjang Eva dan menatap wajahnya. Padahal tadi dia baru berteriak-teriak, sekarang wajah wanita itu terlihat lebih damai. Entah apa yang merasuki Benedict sampai membuat pria itu mengambil posisi untuk berbaring di sebelahnya. Tak lama, pria itu terlelap dan masuk ke alam mimpinya.
...
"Hiks... hiks." Seorang anak laki-laki tengah menangis sesenggukan di taman itu. Hari ini, hari pemakaman ibunya. Kehilangan pertama dan terbesar selalu sukses membuat siapapun terpuruk.
"Kenapa kau menangis?" Anak perempuan itu baru saja menghampirinya. Luka lebam di sekitar wajahnya tidak menghilangkan kecantikan alami yang terpancar dari wajahnya.
Laki-laki itu buru-buru menghapus air matanya. Ia sama sekali tak ingin ketahuan menangis apalagi di depan perempuan. Gengsi. "A-aku tidak menangis," balasnya gugup.
Anak perempuan itu mengerucutkan bibirnya dua senti. Ia dan sebuah boneka kumal miliknya naik ke bangku taman itu. "Jangan bohong padaku. Aku sudah melihat kau menangis dari setengah jam yang lalu."
Tak ada lagi tempat untuknya mengelak. Ia hanya bisa menghela napasnya pasrah di hadapan anak itu. "Ya... aku baru saja menangis."
"Kau ingin cerita?" tanyanya. Mata lebar itu berbinar menatapnya.
"Ibuku... baru saja pergi. Dia... telah meninggalkanku untuk selama-lamanya," ucapnya lirih. Setitik air mata kembali jatuh dari manik sebiru lautan.
Gadis itu menepuk-nepuk pundak si Anak Lelaki, berusaha memberinya kekuatan. "Aku tahu kau sangat sedih kehilangan seseorang yang berharga. Kau boleh menangis sampai hatimu merasa lega, ya?"
Mendengar kata-kata gadis itu, si Anak Lelaki kembali menangis. Ia terus menangis sambil ditenangi oleh bocah berusia enam tahun itu. Sampai kini ia bisa merasa lebih lega.
"Namaku, Ben. Siapa namamu?" tanya Benedict saat suasana hatinya sudah lebih baik.
"Aku E–" Ucapannya terpotong karena ia tiba-tiba terkejut. Benedict ikut menatap arah mata gadis itu.
Seseorang pria dewasa dengan sebuah botol minuman keras di tangannya, menatap mereka berdua tajam. Gadis kecil itu mendadak kikuk. Ia segera turun dari bangku taman itu dan pergi meninggalkan Benedict.
Sepertinya, itu adalah ayah dari gadis itu. Benedict terus memerhatikan mereka dari jauh. Gadis kecil itu sempat terjatuh, namun sang ayah diam saja tanpa mengatakan apapun. Jangan-jangan... justru pria itu yang mendorongnya?
Ternyata semua ayah di dunia ini sama saja! Mereka brengsek. Dan kenapa Tuhan masih menciptakan manusia macam itu? Kenapa... anak masih membutuhkan seorang ayah?
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...