AGAPE (5): Penitence

599 23 1
                                    

Malam itu keributan masih terus saja terdengar di mansion kediaman Alger. Dua insan yang berseteru itu sepertinya tak pernah mengenal waktu kapan mereka ribut.

"Berapa kali harus ku bilang, Matthew? Dia itu teman satu kuliahku. Kami dari dulu memang dekat!" hardik wanita itu.

"Kalau kalian memang teman kenapa dia terus-terusan mengantarmu pulang, Vicky? Kenapa harus dia? Memangnya kau tidak bisa minta tolong supir kita?" tanya Matthew penuh kecurigaan.

Victoria memutar matanya kesal. Suaminya ini selalu saja bersikap posesif dan cemburu berlebihan. Padahal, dia dan temannya itu hanya sekali pulang bersama. "Dia mengantar kami semua satu per satu, Matthew. Bahkan ketika aku sampai di rumah, masih ada dua temanku di mobil itu."

"Aku tidak suka," balas Matthew. "Aku tidak suka jika kau bertemu dengan teman-temanmu. Sebaiknya kau berhenti bertemu mereka dan merawat Ben."

Wanita itu tertawa satir. Pria ini gila. Benar-benar gila. "Kau melarangku sekarang? Apa kini kau berniat memenjarakan aku, Matthew?"

"Kalau aku bisa, mungkin aku akan melarangmu selama-lamanya. Namun, aku tetap memperbolehkanmu bertemu asal aku ada di sana."

"You're a nuts, Matthew! Aku tidak sudi dikekang olehmu seperti itu!"

"Oh, lalu kau lebih memilih bertingkah seperti jalang? Aku melakukan ini demi kebaikanmu, Victoria!"

Victoria memijat keningnya pelan. "Kebaikanku? Ini tidak pernah menjadi kebaikanmu, Matthew. Sepertinya pernikahan kita ini sudah tidak sehat."

Matthew menggeram pelan. Tidak sehat? Lalu kalau begitu istrinya.... "Kau akan menceraikanku?"

"Aku tidak tahu. Selama kau masih–"

"Mommy? Daddy?" Suara anak kecil menghentikan perdebatan itu. Matthew dan Victoria menengok dan mereka dapat melihat Benedict kecil berjalan ke arah mereka. Entah sudah berapa lama dia ada di sana.

"Ben? Kau belum tidur, Sayang?" Victoria menghampiri putra semata wayangnya itu seraya tersenyum. "Ada apa, Ben?"

"Aku tidak bisa tidur, Mommy. Bisakah Mommy membacakan cerita untukku?" pintanya takut-takut.

Victoria dapat melihat jelas sorot ketakutan di mata Benedict. Anak itu... dia pasti menyaksikan segalanya.

"Baiklah, Mommy akan membacakan cerita untukmu," katanya sambil mencium pipi gembul anak itu. "Kau ingin baca cerita apa, Ben?"

"Ratu dan Pangeran Kecilnya!" balas Benedict antusias.

Victoria tertawa pelan. Ini sudah yang kesekian kalinya ia membacakan dongeng soal itu. Entahlah, mungkin Ben kecil memang selalu menyukai cerita ibu dan anak seperti itu. "Kau tidak bosan, Sayang? Mommy bisa bacakan cerita lain untukmu."

"Okay, Mommy!"

"Victoria, kita belum selesai bicara." Suara berat Matthew memanggilnya marah. "Jangan menghindari masalah yang belum selesai–"

"Benedict memerlukanku saat ini, Matthew," potongnya. "Dari dulu sampai sekarang prioritasku adalah dia." Ia dan putra kecilnya pergi meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamar Benedict.

...

Cahaya matahari mulai memasuki jendela itu. Mata biru Benedict perlahan terbuka. Hari ini akhir pekan dan kebetulan ia ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai. Benedict bangkit dari tempat tidurnya untuk mencuci wajah.

Ia menghela napas tatkala mengingat soal mimpi itu. Dulu ia masih sangat kecil untuk bisa memahami persoalan ayah dan ibunya. Seiring ia beranjak dewasa, barulah ia mengerti akar permasalahan ini.

AGAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang