Anak laki-laki itu menghampiri seorang gadis kecil yang tengah duduk di taman. "Kau masih saja suka tempat ini."
Gadis kecil itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum manis pada anak yang baru saja duduk di sampingnya. "Aku suka karena di tempat inilah kita bertemu, Ben."
Benedict tertawa mendengarnya. Memang, di kursi taman inilah mereka pertama kali bertemu. Ketika Benedict kehilangan ibunya, anak ini justru datang menghampirinya dan entah bagaimana mereka bisa menjadi akrab.
Dia seperti matahari. Matahari yang telah menyinari hari-hari gelap Benedict.
"Ben, lihat apa yang aku temukan!" Gadis kecil itu mengangkat sebuah buku bergambar anak-anak. "Aku menemukannya di gudang dan belum dibuang. Sepertinya kau akan suka."
Benedict mengambil buku itu dari tangannya. Ia menatap sedikit remeh. "Heh, buku seperti ini aku juga punya banyak."
Raut wajahnya berubah saat Benedict mengucapkan hal seperti itu. "Aku kan, hanya ingin memberikannya padamu," rengutnya kesal.
Mendengar rajukan gadis itu membuat Benedict tertawa lagi. Gadis ini terlihat sangat imut jika merajuk. "Iya, iya. Terima kasih banyak, Eva," ucapnya sambil mengusap kepala Eva agar anak itu tidak marah lagi.
Eva seketika tersipu saat Benedict mengusap kepalanya persis seperti anak kecil. Ia buru-buru menutup wajahnya dengan sebuah buku yang ia pegang. Astaga, laki-laki ini selalu tahu bagaimana caranya membuat wajah Eva memerah. Pada akhirnya, Eva pura-pura membaca buku di hadapannya.
"Kalau mau membaca bukan begitu caranya." Anak dua belas tahun itu menarik tangan Eva agar bukunya sedikit menjauh dari sana. "Mom selalu bilang agar aku tidak membaca buku dekat-dekat. Matamu bisa rusak."
"I-iya, aku tahu," balas Eva cuek. Dalam hati gadis itu sebenarnya takut rahasianya terbongkar pada Benedict. Ia tahu persis, pasti Benedict pasti akan terus menerus meledeknya.
Benedict menangkap pergerakan aneh dari wajah gadis itu. "Kau itu ... belum bisa baca, ya?" tebak Benedict.
Eva sedikit terlonjak mendengar pertanyaan Benedict. Otaknya dengan cepat berusaha mencari jawaban yang masuk akal. "S-sudah, kok."
"Bohong."
"Aku sudah bisa baca, Ben!"
"Aku bisa tahu orang yang bisa baca atau belum. Dan kau pasti tidak bisa."
Telak. Benedict telah membalasnya dengan telak. Eva memang belum bisa baca. Sang ayah atau ibunya tidak pernah mengajari gadis itu bagaimana caranya membaca. Padahal usianya sudah menginjak enam tahun, tapi dia masih belum begitu lancar.
Benedict tersenyum saat menatap wajah masam gadis itu. "Tidak apa," katanya. "Aku bisa mengajarkanmu membaca jika kau memang mau, Eva. Aku juga awalnya tidak bisa membaca, tapi ibu selalu mengajarkanku bagaimana cara membaca sampai aku bisa."
"Benarkah?" tanyanya dengan mata berbinar. "Kau akan mengajariku membaca?"
Benedict mengangguk. "Iya, aku akan mengajarimu sampai kau bisa."
Gadis itu memeluk anak lelaki di sampingnya erat. "Terima kasih banyak, Ben."
"Sama-sama, Evangeline."
***
Setiap hari selepas pulang sekolah, Benedict dan Eva akan selalu bertemu di taman itu. Dengan senang hati Benedict mengajarkan Eva banyak hal. Gadis itu belajar dengan cepat dan tekun. Setiap hari Eva akan banyak bertanya sekaan Benedict mengetahui segalanya.
"Kenapa air laut rasanya asin, Ben?"
"Karena ikan akan berkeringat saat ia kelelahan berenang," jawab anak laki-laki itu asal.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...