Eva terdiam di tempatnya. Ia cukup terkejut saat Matthew memintanya untuk berbicara sebentar. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya, kira-kira apa yang membuat pria ini ingin sekali berbicara dengannya.
"Evangeline?" panggil suara berat itu lagi. "Apa kau tidak bisa mendengar apa yang aku katakan?"
Gadis bermata hijau itu tertegun dari lamunannya. Kakinya kemudian melangkah mengikuti Matthew yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Mereka berdua pergi ke sebuah ruangan yang disinyalir sebagai tempat bersantai. Eva dapat melihat rak buku menjulang di tiap sisi tempat itu. Ada juga sebuah perapian yang menyala. Sudah hampir musim dingin di Amerika, udara semakin dingin.
"Duduklah," perintah Matthew. Pria itu mengambil salah satu minuman koleksinya dan duduk di sebuah sofa yang ada di sana. "Liquor?"
Eva menggeleng pelan. "Saya tidak meminum alkohol, Sir."
Matthew mendengus meremehkan. Pria paruh baya itu kemudian menuangkan minuman keras untuk dirinya sendiri dan menyesapnya perlahan-lahan. Rasa panas menjalar di kerongkongannya menyisakan sedikit pahit di lirdah.
"M-maaf sebelumnya, Sir. Kenapa Anda ingin berbicara dengan saya?" tanya Eva setelah ia cukup lama memerhatikan pria itu menyesap liquor-nya.
Direktur utama De Alger Airlines itu menaruh gelas dan kini mulai menatap Eva dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Gadis itu masih tidak berubah. Mirip sekali dengan Felix dan Isabelle, orang tuanya.
"Aku tak menyangka kita bisa bertemu lagi, Evangeline Agnello, putri semata wayang Felix."
Mata Eva membelalak saking terkejutnya. "Anda ... mengenal siapa saya, Sir?"
Matthew menyeringai remeh. "Awalnya aku ragu, tapi semakin ke sini aku bisa melihat mata Felix dan rambut Isabelle di wajahmu. Aku semakin yakin bahwa kau itu putri semata wayang yang selalu ia banggakan dulu," jelasnya.
Eva tak mampu menjawab pernyataan Matthew. Ia terlalu terkejut dengan fakta bahwa Matthew dan ayahnya saling mengenal. Eva tahu, ayahnya itu dulu punya banyak sekali relasi dengan orang-orang penting di negeri ini, salah satunya bahkan ayah Benedict.
Kalau begitu ... apa ada kemungkinan Benedict juga pernah mengenal dirinya?
"Evangeline," panggil Matthew lagi. "Apa ada sesuatu yang terus menjanggal pikiranmu sampai kau tidak mendengar apa yang aku katakan?"
"A-ah, maafkan saya, Sir." Gadis itu menunduk dalam. "Apa Anda bisa mengulang pertanyaan Anda?"
"Aku bertanya tentang keadaan ibumu. Bagaimana kabarnya sekarang?"
"Kenapa Anda menanyakan soal dia?" tanya Eva dengan nada tak suka.
"Memangnya kenapa? Kau punya masalah dengan ibumu sendiri?" tanya Matthew balik.
Eva menghela napasnya berat. Bukannya ia punya masalah dengan Isabelle, tapi hubungannya dengan sang ibu terputus sejak hari itu. Pada akhirnya, mereka tidak pernah bertemu dan berkomunikasi hingga hari ini.
"Yang ku tahu ibu memilih untuk menikah lagi setelah bercerai dengan ayah dan pindah ke Inggris. Setelah itu, aku dan ibu tidak pernah bertemu lagi," jawab Eva sekenanya. Ia tak begitu suka membicarakan masa lalu. "Kenapa Anda sangat penasaran dengan keluarga saya, Sir?"
Tentu saja Matthew penasaran. Ia ingin tahu kelanjutan keluarga Agnello yang semua orang pikir sudah musnah dari dunia ini. Matthew masih ingat berapa banyak perusahaan yang ikut merugi saat Agnello Company bangkrut. Jika bukan karena keputusan Alexander Ambroise untuk mengakusisi perusahaan itu, Matthew dan yang lain mungkin tamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
Fiksi UmumALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...