Eva akhirnya selesai menceritakan kisah lama itu. Bahkan ketika selesai, Benedict masih diam tak bergeming. Pria itu nyaris tak bisa berkata-kata saat ini.
"Aku memang awalnya sangat membenci ayah," kata Eva lagi. "Aku marah, kesal, dan tak pernah mengerti alasan kenapa ayah memilih untuk meninggalkanku. Namun, setelah semakin dewasa, aku akhirnya paham. Ayah hanya menginginkan yang terbaik untukku. Dan yang terbaik saat itu adalah untuknya pergi jauh."
Benedict menatap mata zamrud itu dalam-dalam. Mendengarkan kisah Eva sungguh membuat hatinya terasa pilu. Ternyata inilah alasannya. Alasan Eva meninggalkannya dulu. Andai Benedict waktu itu membantunya, apa mereka bisa berbahagia lebih cepat?
"Itu semua pasti sangat berat untukmu, ya?" Benedict mengelus pucuk kepala Eva lembut. "Aku bahkan tak bisa bayangkan bagaimana kau bisa melalui semuanya itu."
Eva tak langsung menjawab. Gadis itu malah turun dan mengambil bathrobe miliknya sebelum ia keluar menuju balkon yang menghadap ke laut. Angin malam terasa menusuk kulit.
Benedict juga ikut menyusul gadis itu. Dari belakang, ia memeluk tubuh mungil Eva yang tengah menatap lautan.
"Aku selalu bermimpi bisa mengunjungi pantai bersama ayah," ucap Eva tiba-tiba. "Setiap aku memandang lautan bersamamu, kadang aku berharap aku juga melakukan hal yang sama bersama ayah." Setetes air mata jatuh dari manik zamrud miliknya.
Pria itu mendekap tubuh gadisnya semakin erat. "Jangan menangis, Evangeline. Aku semakin yakin ayahmu pasti sudah berbahagia di Surga sana."
"Ya, aku juga yakin begitu. Mungkin saja ibumu dan ayahku sedang mengobrol berdua, Benedict," kekeh Eva pelan.
Benedict ikut tertawa mendengarnya. Akhirnya, gadis itu kembali tersenyum. Menceritakan kisah lama pasti sangat menyakitkan bagi gadis itu. Ia ikut senang saat Eva bisa melewatinya dengan baik.
"Eva ...."
"Ya?"
"Apa ... kau pernah bertemu ibumu setelah kejadian itu?"
Eva sedikit terlonjak saat mendengar pertanyaan Benedict. Gadis itu membalikan badannya agar bisa berhadapan dengan Benedict. "Tidak. Sama sekali tidak," jawabnya. "Dari yang kudengar, ibu pergi ke London dan menikah lagi. Kadang aku harap bisa bertemu dengannya sekali lagi."
"Kau ingin bertemu dengannya?" ulang Benedict.
Tanpa diduga gadis itu mengangguk. "Ingin sekali aku menanyakan berbagai hal padanya. Jika bisa ... aku ingin sekali berbincang dengannya."
"Kalau begitu, kita akan pergi ke London besok."
"Eh?" Eva melongo menatap pria itu. "Apa maksudmu?"
"Sepertinya ucapanku sudah sangat jelas, Eva. Kita akan pergi ke London besok untuk mengunjungi ibumu."
Eva menelan salivanya gugup. Benedict ... sungguh akan membawanya ke London? Untuk bertemu ibunya? Astaga, Eva tak menyangka pria itu akan sungguh-sungguh dengan perkataannya!
"Kita akan tinggal di London selama dua hari saja. Aku akan meminta bantuan Dion untuk mengetahui tempat ibumu. Pokoknya kau tinggal duduk manis," kata Benedict sambil mengecup bibir wanitanya.
Tidak ada pilihan bagi Eva selain menerimanya. London, ya? Apa ibunya ingin bertemu dengannya lagi? Atau kini Isabelle telah melupakannya?
...
London, United Kingdom.
Negara yang terkenal dengan menara jam yang amat megah itu disinyalir sebagai tempat tinggal baru Isabelle. Eva dan Benedict sudah mendarat kemarin malam dan langsung pergi ke hotel. Pagi ini, mereka telah berencana untuk mempertemukan Eva dengan sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...