Eva tengah dalam kegiatannya membaca buku di tepi jendela sampai tiba-tiba sebuah tangan kekar melingkar dari belakang.
"Masih saja membaca buku di dekat jendela," bisik suara bariton itu.
Eva tersenyum tipis. Gadis itu berbalik dan kini ia melihat seorang bayi besar di hadapannya. "Memangnya kenapa? Aku memang selalu membaca buku di sini sejak kau menculikku."
Mendengar kata itu membuat Benedict mengerucutkan bibirnya dua senti. "Kau masih saja membahasnya. Sudah kubilang, aku tak suka dipanggil penculik."
"Lalu apa, hm?" tanya Eva memajukan wajahnya ke arah Benedict. "Kalau bukan penculik, kau ingin kupanggil apa?"
Dengan gerakan cepat, Benedict mengecup bibir merah muda itu. "Bagaimana jika kau memanggilku dengan sebutan 'Sweetheart'?"
"Benedict!" Eva buru-buru menjauhkan wajahnya. Jantung gadis itu berdegup tak menentu sekarang. "Jangan bermain-main!"
"Aku tidak bermain-main, Sweetie ...." Benedict semakin mendekatkan wajahnya pada Eva. "Semua orang menganggap kita sepasang kekasih, kenapa kita tidak mewujudkannya saja?"
Eva memukul dada bidang itu kesal. "Jangan macam-macam!" Ia lalu beranjak dari tempat itu dan pergi ke kamar mandi. Eva harus menenangkan dirinya sebelum ia bertemu lagi dengan Benedict.
Gadis bermata zamrud itu menatap wajahnya di cermin. Terlihat kulit putih wajahnya yang sudah berubah merah karena kata-kata Benedict. Astaga, padahal baru begitu saja, ia sudah malu setengah mati seperti ini?
Dan tadi apa katanya? Kekasih? Mewujudkan hal itu?
Eva menepuk-nepuk pipinya agar ia tak terus memikirkan apa yang ada di otaknya sekarang. "Evangeline Agnello, berhenti bersikap bodoh!" rutuknya pada diri sendiri.
Ah ... kenapa juga dia jadi seperti ini? Eva sesungguhnya tak pernah membayangkan akan jatuh dalam pesona Benedict Alger, pria yang justru menculiknya. Apa hal-hal seperti ini bisa terjadi?
Sial! Kenapa harus Eva yang mengalami hal ini?!
Gadis itu akhirnya keluar saat ia sudah lebih tenang. Eva tak menangkap batang hidung siapa pun termasuk Benedict di sana. Eva menghela napasnya lega. Setidaknya, untuk saat ini jantungnya bisa lebih terkontrol.
"Ah, lebih baik aku kembali membaca sebelum Ben menggangguku lagi," gumamnya sebelum melangkah ke tepi jendela.
Sementara itu di tempat lain, Benedict tengah menatap layar komputernya dengan ekspresi wajah serius.
"Katakan, Aksara," ucapnya memberi perintah. Terlihat Aksara, Xander, Xavier, dan Karina memenuhi layar.
Pria yang ada di layar itu menghela napasnya sebelum bibirnya mulai berkata-kata. "Karina sudah mengupayakan permintaanmu itu. Namun, kau seharusnya sudah bisa menebak, Benedict. Direktur Utama Ambroise Corp ingin kau yang langsung berbicara padanya."
Benedict seharusnya mengetahui hal itu. Mengambil alih kembali perusahaan ayah Eva tidak akan pernah mudah dan mulus jalannya. "Tidak dalam waktu dekat. Aku masih punya beberapa hal yang ingin aku urus."
"Mereka sangat terkejut dengan keputusanmu itu, Benedict," ucap Xander. "Uncle Alex sangat mempertanyakan keputusanmu itu dan dia terlihat sangat tidak sabar membahasnya."
"Apa ada kemungkinan Alexander Ambroise akan mengembalikan perusahaanmu itu?"
Karina menggeleng. "Tidak tahu, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran pamanku. Namun, beliau bisa jadi akan mengabulkannya jika kau bisa meyakinkan pamanku."
Pria bermata biru laut itu tersenyum tipis. "Terima kasih banyak, Kawan. Setelah ini semua selesai, aku berjanji akan memberikan kompensasi untuk kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...