Eva termenung menatap pria itu. Apa maksudnya tiba-tiba Benedict menodong seperti ini? Dia ... ingin dihibur lagi?
"Kau ... ingin aku peluk?" tanya Eva memastikan.
Pria bernetra biru itu berdeham kikuk. "Yah, apapun yang kau bilang bisa menenangkan seseorang. Aku membutuhkan itu sekarang juga."
Gadis itu menelan salivanya perlahan. Ia lalu mendekat ke arah Benedict dan menariknya ke sofa ruangan itu. Eva menarik Benedict ke dalam pelukan hangatnya, demi menenangkan pria itu.
Benedict membalas pelukan itu. Ketegangan yang tadi melingkupi hatinya kini berganti kedamaian. Entah sihir apa yang Eva miliki hingga pria itu bisa takluk padanya. Hanya bersama dengan Eva, Benedict bisa lebih tenang.
"Sebenarnya apa yang membuatmu seperti ini, Benedict?" tanya Eva sembari mengelus rambut pria itu. "Padahal tadi pagi kau terlihat lebih baik, kenapa sekarang kambuh lagi? Kau seperti orang yang kerasukan iblis."
Benedict terkekeh pelan mendengar penuturan gadis itu. "Kalau aku memang kerasukan iblis bagaimana?"
"Mungkin aku harus membawamu ke gereja."
"Dasar." Benedict melepas pelukan Eva dan gantian menatap manik zamrud itu dalam-dalam. "Kau tidak perlu membawaku ke gereja, Evangeline. Sepertinya kau saja cukup untuk menyingkirkan iblis di dalam diriku."
Eva tersenyum miring. "Jadi, kau bukan lagi Lucifer?"
Tawa tersembur dari mulut pria itu. "Ya, terima kasih banyak, Eva," katanya dengan tulus.
"Sama-sama, Ben," balasnya malu-malu. "Jadi, sekarang kita bisa memanggil dengan nama pendek masing-masing?"
"Terserah saja. Aku dengan senang hati–" Ucapannya lagi-lagi terpotong karena pintu ruangan itu terketuk. Benedict mendengus pelan dan melepaskan pelukannya sebelum menyuruh orang itu masuk. Ternyata Dion.
"Sir, ada yang ingin saya sampaikan. Tapi sebelum itu, ini punya Nona, kan?" Dion memberikan sebuah tablet tipis yang disinyalir milik Eva.
Mata zamrud itu nyaris membulat saat menyadari apa yang di tangan Dion. Ia segera mengambilnya dan menatap miliknya itu tak percaya. "Di mana ... kau bisa menemukan ini, Dion?"
"Seseorang melihatnya di pantry dan mengenali itu sebagai milikmu," jelas pria itu. "Sepertinya ... orang yang mengambil tablet Nona dan yang melakukan ini adalah orang yang sama."
Bagai tersambar petir, Benedict dan Eva amat terkejut mendengar penyataan itu. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan hal seperti itu, Dion?" tanya Benedict.
"Ini masih dugaan saya dan ayah saya. Namun, beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini sekan juga mengincar Nona yang bekerja sebagai asisten Tuan Benedict. Sepertinya selain iri, mereka juga takut dengan keberadaan Nona."
"Kenapa harus aku?" tanya Eva dengan raut wajah kebingungan. "Ini masih tidak masuk akal, Dion. Kalau mereka bertujuan untuk menghancurkan perusahaan Benedict, kenapa jadi aku yang diincar?"
Dion menghela napas sambil mengangkat bahunya. "Kami juga mempertanyakan demikian. Intinya, Anda tetap harus waspada sampai kasus ini selesai."
...
Pancuran keran air dingin itu membasahi tangan Eva. Pikiran wanita itu tengah kalut karena masalah yang mendatanginya bertubi-tubi. Dengan Dion berkata demikian, ia semakin memikirkan kemungkinan itu. Bahwa orang-orang yang membencinya juga terlibat dalam hal ini.
Eva menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus percaya bahwa Benedict dan Dion bisa menyelesaikan semuanya ini. Para pria itu tidak akan memberikan celah sedikit pun pada pelaku korupsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...