Eva tengah melangkah di tengah hamparan bunga-bunga. Ia menghirup aroma segar yang terkuak dari bunga di taman tersebut. "Ah... ciptaan-Mu sangat indah, Tuhan."
Entah sejak kapan Benedict memperbolehkannya keluar selama tiga puluh menit setiap hari. Pria itu memang sedang sangat sibuk hingga jarang mengunjungi Eva akhir-akhir ini. Namun, Eva justru bersyukur. Itu artinya ia tidak perlu bertemu dengan manusia satu itu.
"Nona, ini sudah waktunya Anda kembali ke kamar." Seorang bodyguard memperingatinya.
Gadis bermata hijau itu mengangguk seraya tersenyum. "Baik, hari ini juga sudah cukup bagiku."
Ia tak pernah merasa sebahagia ini ketika keluar dari ruangan itu. Padahal, ia dulu selalu kesal kalau harus bepergian ke luar untuk membeli sesuatu. Ya, itulah sifat manusia. Mereka baru akan menyadari betapa berharganya sesuatu kalau hal itu hilang dari mereka.
Sesampainya di kamar, bodyguard itu kembali memasangkan borgol di tangan dan kaki Eva. Kini, gadis itu kembali menjadi tahanan. "Terima kasih," ucapnya pada bodyguard itu.
"E-eh, s-sama-sama, Nona," katanya kikuk. Bodyguard itu saling berpandangan dengan rekannya. Mereka sungguh tak mengerti bagaimana wanita ini masih bisa tersenyum padahal sedang berada di dalam tahanan.
Wanita yang sangat aneh.
Setelah bodyguard itu keluar, Eva menatap jendela besar kamar itu. Taman selalu mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu. Pertama kali mereka bertemu saat di taman seperti ini. Sayang, Eva tak begitu mengingat anak yang ia temui waktu itu. Ingatan masa kecilnya sangat samar.
Karena ingatan itulah yang selalu memicu traumanya.
Jika dipikir-pikir, anak yang Eva temui waktu ini memiliki kemiripan dengan Benedict. Tapi, tentu saja itu mustahil Benedict. Anak yang Eva ingat sangat baik dan lemah lembut. Tidak seperti pria itu yang sangat kasar.
Eva menatap jam dinding yang menunjukan waktu hampir jam makan malam. Eva memutuskan untuk membersihkan tubuhnya sebelum Benedict kembali ke rumah. Pria itu... kadang suka mengomel kalau Eva terlihat lusuh.
Cih, dasar sok perhatian.
"Ah... baju apa yang harus aku pakai kali ini?" gumam Eva sambil menatap tumpukan baju di lemarinya.
Semua baju itu sudah tak layak pakai bahkan ada beberapa yang sudah sobek di berbagai area. Eva menghela napasnya berat. Gadis itu melangkah ke arah lemari lain. Di kamar itu ada dua buah lemari yang cukup besar dan Eva diwanti-wanti untuk tidak membuka lemari yang satu itu.
Namun, peraturan itu dibuat untuk dilanggar, kan? Tanpa sadar kaki Eva melangkah ke lemari yang ada di sebelahnya. Ia nyaris menganga saat membuka lemari tersebut. Ini... ada baju yang lebih layak? Semua baju itu bahkan terlihat seperti baru.
Siapa pemilik baju ini? Itu yang terpikir oleh Eva saat melihatnya.
Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu langsung mengambil salah satu dress floral tersebut dan mengenakannya di tubuhnya. Eva menatap dirinya di cermin. Dress itu sangat pas di tubuhnya. Pasti Benedict tidak akan sadar jika ia memakai salah satu dress yang ada di lemari ini, kan?
"Nona, Tuan Muda Alger sudah memanggil Anda untuk makan malam." Seorang pelayan mengetuk pintunya.
"Saya akan segera datang," sahut Eva dari dalam. Setelah memastikan dirinya rapi, gadis itu bersiap untuk makan malam. "Ah, apa ada yang bisa membukakan borgol ini untukku?"
Sementara Benedict baru saja tiba di ruang makan. Ia menatap meja makan itu yang sudah penuh dengan makanan. Namun, belum terlihat batang hidung dari manusia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
Fiksi UmumALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...