Benedict masih menatap wanita itu tidak berkedip. Ia tak menyangka kunjungan mendadak seperti ini. Apalagi dari Eva .... Bagaimana mungkin dia bisa masuk tanpa ada yang mencegah.
"Ben, aku tahu kau sangat terkejut saat melihatku sekarang. Namun, sebaiknya kau duduk dan kita mulai bicara," ujarnya membangunkan Benedict dari lamunan. Segera saja pria itu duduk tepat di hadapan Eva.
"Apa ... Dion yang membawamu ke sini?"
Eva mengangguk perlahan. "Dion yang mengajakku. Karena dia tahu, aku punya sesuatu yang perlu kukatakan." Gadis itu mengeluarkan sebuah buku dan amplop berwarna cokelat. "Kau ... pasti tahu ini apa"
Mata biru itu membelalak saking tak percaya dengan penglihatannya. Buku itu dan amplop itu ... mana mungkin Benedict tidak mengetahuinya. "Apa kau sudah membaca semuanya?
Lagi-lagi Eva menganggukan kepalanya. "Aku telah mengetahuinya, Benedict. Aku tahu bahwa kau adalah anak laki-laki yang pernah aku temui dulu. Sebenarnya sejak kapan ... sejak kapan kau mengetahui ini semua, Benedict?"
Pria itu tak langsung menjawab. Ia bimbang tentang bagaimana cara agar ini semua bisa dicerna dengan baik oleh gadis itu. Bahkan, bagi dirinya saja hal ini sudah tidak masuk akal.
"Aku mengetahuinya di hari kita memperingati kematian ibuku. Aku sendiri juga tidak ingat kalau kita sebenarnya teman kecil. Maafkan aku, Eva. Maafkan aku karena sudah memanfaatkanmu," ujar Benedict amat menyesal.
Setitik air mata menetes dari manik zamrud itu. Awalnya Eva sangat membenci Benedict saat menculiknya dan ia amat marah saat dirinya dijadikan alat balas dendam semata. Namun, perlahan pandangan itu berubah.
Ada hari di mana Benedict begitu tulus menyayanginya. Hari saat Benedict berupaya untuk terus menyenangkan dirinya. Mungkin jika hari itu Benedict tidak menculiknya, Eva akan memilih untuk mengakhiri hidupnya, kembali pada Tuhan.
Meski pertemuan mereka tidak mengenakan, Eva belajar untuk menerima semuanya itu dan hanya memedulikan apa yang baik yang terjadi.
"Benedict," panggilnya setelah hening sekian lama. "Kenapa ... kau tidak langsung memberitahuku saat itu?"
Benedict menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. "Aku tidak bisa, Eva. Aku tidak bisa mengatakannya di saat aku punya rencana yang mungkin akan menyakitimu sekali lagi. Eva, I don't want you to feel like losing someone again."
"But, Benedict, I've lost you ...," katanya lemah sekali. "I've lost you now."
"I know. And I'm sorry. I can't come back."
Eva menghapus air mata yang mengalir di pipi dengan kasar. Hari ini saja, dia tidak ingin menangis banyak-banyak. "Satu lagi. Kau harus menjelaskan padaku soal pembelian Agnello Company. Apa ... maksudmu membeli kembali perusahaan ayahku?"
"Karena aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, Eva. Aku ingin kau bisa hidup layak dan melanjutkan apa yang memang adalah milikmu. Perusahaan itu."
Eva menatapnya dengan tatapan tak percaya. Ia sungguh berpikir bahwa dirinya akan pergi dari dunia? Karena itulah Benedict ingin agar Agnello Company kembali ke tangannya, agar dia bisa hidup lebih berkecukupan? Pemikiran macam apa itu?!
"Kau mengambil keputusan ini tanpa persetujuanku, Benedict."
"Sudah berapa kali harus kubilang, Eva. Aku ingin merahasiakan ini semua dari–"
"Aku tidak butuh semua ini!" jeritnya keras. Semua ucapan Benedict langsung tersumpal begitu saja. "Aku tidak pernah menginginkan hal semacam ini, Benedict. Seumur hidupku ... aku pernah berharap satu hal saja." Eva menatap wajah itu dalam-dalam. "Aku pernah berharap pada Tuhan, jika ayahku tidak bisa hidup kembali, maka biarkan aku bisa bertemu dengan anak lelaki itu sekali saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...