Benedict menutup buku itu, mengakhiri sesi pagi mereka. "Kau ingin sarapan, Evangeline?" tanyanya.
Eva tidak menjawab. Sedari tadi gadis itu hanya fokus terdiam menunduk. Tatapan matanya kosong dan seakan jiwanya tak ada di sana.
Benedict kemudian menjentikan jarinya tepat di depan mata Eva. "Evangeline, kau itu sebenarnya mendengarkanku atau tidak?"
Gadis itu tersentak pelan. "A-ah ... i-ya aku mendengarkanmu," jawabnya gugup.
"Benarkah?" Benedict mengangkat satu alisnya. "Memangnya tadi aku membicarakan tentang apa?" lanjutnya dengan senyuman jahil.
Eva mendadak semakin gugup. Gadis itu memutar otak untuk bisa menghindari pertanyaan ini. "A-aku ingin pipis. Se-sepertinya aku harus ke toilet sekarang," katanya kemudian berlalu dari sana.
Pria bernetra biru itu terkekeh pelan melihat Evangeline yang panik. Entah kenapa gadis itu sering terlihat melamun sendiri dan tidak fokus. Mungkin ada yang sedang ia pikirkan akhir-akhir ini.
Benedict tak menunggu Eva keluar dari kamar mandi itu. Mungkin akan butuh waktu satu jam untuk seorang wanita bersiap-siap, kan? Hari ini dia harus menyiapkan beberapa hal terkait acara peluncuran pesawat mereka. Acara yang berlangsung satu minggu lagi itu akan mengundang banyak orang penting.
Sebenarnya ia malas jika harus menghadiri pesta seperti ini. Bayangkan saja rasanya berdiri berjam-jam dan menghabiskan waktunya dengan berbasa-basi. Belum lagi mendengar pertanyaan terkait kehidupan pribadi Benedict.
Terutama soal kapan ia akan menikah.
Namun, ia juga tidak tega menolaknya. Sang ayah terlihat bersemangat sekali dalam menyambut pesta ini. Yah, menyenangkan orang tua, tidak ada salahnya, kan? Segera saja pria itu bersiap-siap sebelum pergi ke kantor.
"Eh, kau sudah selesai?" tanya Eva saat Benedict baru tiba di ruang makan. "Kebetulan sekali, kau datang saat sarapan sudah matang."
Benedict melihat Eva yang menaruh dua piring itu di meja makannya. Untuk hari ini Eva membuat toast dengan alpukat dan scrambled egg. Benedict menarik kursi dan duduk di sana. Perlahan ia mengunyah toast buatan Eva.
"Sangat enak," pujinya dengan sedikit menggoda. "Kau senang, kan?"
Eva mendadak tersipu malu. "I-iya. Terima kasih banyak, Benedict. Aku senang bisa memasak sesuatu yang kau suka."
Pria itu tak lagi menjawabnya. Ia hanya sibuk memakan toast buatan Eva dengan sedikit terburu-buru. Sepertinya dia sedikit terlambat.
"Jangan buru-buru, Benedict. Kau bisa tersedak." Eva memberikan segelas jus jeruk pada pria itu. Ia terlihat persis seperti ibu yang merawat anaknya.
Melihat hal itu membuat Benedict tertegun. Wanita ini ... bagaimana bisa ia semakin menyerupai sang ibu? Benedict tidak bisa melepaskan bayang-bayang sang ibu dari wajah Eva.
"Aku pergi duluan. Ada rapat penting," katanya sambil meninggalkan meja makan itu.
"Hati-hati," pesan Eva yang tidak digubris lagi oleh Benedict. Ia mengambil jas miliknya dan melangkah keluar dari mansion-nya
Di depan sudah ada Dion yang sedang menunggunya. Ketika pria itu mengangkat kepalanya, ia merasa janggal dengan tingkah bos besarnya satu itu. "Sir, Anda baik-baik saja?"
Benedict mengangguk cepat. "Aku baik, Dion. Kita harus segera berangkat untuk memulai persiapan pesta," tegasnya.
Pria yang menjadi asisten pribadinya itu mengangguk. Ia membukakan pintu bagi Benedict sebelum masuk ke mobil itu. Dalam hitungan detik, mobil Audi hitam itu menjauhi kediaman Benedict.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...