Pagi-pagi buta, sebuah mobil hitam berhenti di depan pintu mansion megah itu. Seorang pria bertubuh tinggi tegap keluar dengan borgol yang melingkar di tangannya. Beberapa polisi ikut membantu mengawalnya sampai ia tiba di dalam mansion itu.
"Besok kami akan menjemput Anda pagi-pagi sekali," ujar polisi itu seraya membuka borgol tangan Benedict. "Nikmatilah hari ini, Sir."
Benedict tersenyum menatap polisi itu. "Terima kasih atas bantuan Anda selama ini." Para polisi itu mengangguk kemudian pergi meninggalkan tiga orang di sana.
Pria bermanik biru laut itu menatap dua orang yang berdiri tak jauh darinya. Tatapannya berubah semakin lembut saat melihat gadis yang selalu ia rindukan akhir-akhir ini. "Apa kau tidak merindukanku, Evangeline?"
Sontak gadis itu berlari dan memeluknya dengan sangat erat. Eva tak bisa lagi membendung segala kerinduan yang membuncah di hatinya. "I miss you, Benedict. I miss you so bad!"
Mereka berdua berpelukan selama nyaris lima menit sebelum Eva sendiri yang melepaskannya. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ia akhirnya bisa menyentuh lagi kulit Benedict. Aroma maskulin khasnya bahkan tidak hilang meski mendekam berminggu-minggu di penjara.
"Kau terlihat lebih cerah dari biasanya. Apa kau sebegitu rindunya denganku, Eva?" tanyanya dengan nada menggoda.
Eva memukul dada bidang pria itu pelan. "Berhenti menggodaku, Benedict! Kau ini masih saja menyebalkan," katanya yang membuat Benedict tertawa.
Dion berdeham kecil setelah menyaksikan agenda bucin dua manusia itu. "Sepertinya Anda berdua bisa istirahat sebentar sebelum kita mulai acaranya. Pastor juga akan datang sekitar pukul delapan."
"Acara? Pastor? Apa yang kalian maksud?" Eva mengerutkan dahinya bingung.
"Pernikahan. Aku sudah menyiapkan acara pernikahan untuk kita." Jawaban yang sukses membuat Eva menganga hebat.
"Pe-pe-pernikahan?" gagapnya. "A-apa maksudmu, Benedict? Kau merencanakan pernikahan tanpa–" Kata-kata gadis itu dibungkam dengan lumatan Benedict di bibirnya.
"Ini kejutan yang sudah aku siapkan untukmu, Eva. Aku ingin, meski ini adalah hari terakhir di dunia, aku ingin membuat memori indah hanya bersamamu," ucapnya tulus.
"Ben ...." Eva nyaris tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru ia dengar. Ia ingin menikah dengannya? Itu mimpi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setitik air mata menetes dari manik zamrud indah itu.
"Hei, jangan menangis." Benedict menghapus air mata Eva dengan jemarinya. "Ini hari bahagia kita, aku tak ingin kau meneteskan setitik air mata hari ini."
Eva tertawa pelan. Gadis itu akhirnya mengangguk menuruti apa yang Benedict inginkan. Dua insan itu lalu pergi berjalan-jalan berkeliling mansion. Seperti hari-hari sebelumnya, mansion itu memang sepi karena hanya diisi Eva dan Dion.
Mereka berjalan menuju taman. Matahari baru saja muncul di ufuk timur dengan begitu indahnya. Ini pertama kali Eva dan Dion menikmati matahari terbit bersama-sama. Tidak ada percakapan yang berarti. Dua orang itu hanya terdiam dalam pikirannya masing-masing.
Ketenangan yang bisa mereka dapatkan hanya dengan berpegangan tangan, terasa begitu berharga. Tiap detik yang mereka lalui ingin sekali mereka bekukan agar waktu ini tak berlangsung terlalu cepat.
"Aku tak pernah menyangka bahwa matahari terbit di tempat ini sangatlah bagus," gumam Benedict. "Sepertinya ini pertama kali aku melihat hal ini di depan rumahku sendiri."
"Aku juga," balas Eva. Mata zamrud kehijauannya masih menatap matahari yang bergerak perlahan menuju ke atas. "Ini terlihat menakjubkan, Benedict."
"Tapi, tidak lebih menakjubkan dari gadis matahari yang ada di sebelahku ini," godanya yang membuat Eva otomatis tertawa. Gadis itu masih ingat bagaimana Benedict selalu menyebutnya 'gadis matahari' dalam buku hariannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...