Matahari pagi menembus jendela dengan amat silaunya. Gadis itu masih berbaring dengan nyaman di sebelah pria. Ketika matanya terbuka, ia nyaris berteriak.
Kenapa Benedict bisa ada di sebelahnya? Dan pria itu tidak memakai baju atasan sama sekali. Di ulangi, sama sekali!
Eva berusaha lepas dari pelukan Benedict yang menguncinya cukup erat. Mati-matian ia mencoba untuk tidak membangunkannya dan untung berhasil. Eva bangun sesenyap mungkin dan pergi ke kamar mandi. Hah, wajahnya sungguh memerah seperti kepiting rebus.
Sungguh ia tak menyangka Benedict bisa ketiduran bersamanya seperti itu. Apalagi dengan tubuh atletisnya .... Eva menampar dirinya pelan. Gila, bagaimana otaknya bisa berpikir seperti itu?
"Jangan gila, Evangeline! Dia itu pria yang menculikmu! Kau tidak boleh terkena stockholm syndrome. Ini bukan film romantis sialan itu," rutuknya pada diri sendiri.
Eva baru saja ingin keluar dari kamar mandi itu sebelum ia melihat seorang pria berdiri di depan pintu. Wajah tampannya memancarkan keindahan meski baru bangun tidur. Eva dapat melihat pria itu tersenyum menatapnya.
"Aku tak menyangka bisa bertemu dengan kerbau betina sepertimu," kerlingnya jahil.
Lagi-lagi pipi Eva memerah. Ia berusaha menutupinya dengan sebuah handuk yang ada di dekat wastafel. "Ke-kemarin a-aku cukup lelah. J-jadinya, aku tidur lebih cepat," balasnya gugup.
Tawa pelan muncul dari bibir pria itu. Benedict mendekati Eva sampai tak tersisa jarak di antara mereka. "Apa masih ada hukuman untukku, Nona Agnello?"
"Masih ada!" Eva menarik tangan Benedict menuju tempat nakas dan mengambil kitab suci miliknya. "Kau masih harus membacakan ini padaku sebelum tidur dan setelah aku bangun."
"Oh, jadi kau ingin aku tidur bersamamu lagi?"
Eva nyaris membelalak dan mulutnya menganga lebar. "Bukan itu maksudku, Benedict! Aku ingin kau membacakan ini sama seperti orang tua membaca dongeng untuk anaknya!"
Pria bernetra biru itu kembali terkekeh. "Yah, terserah saja, Evangeline. Tapi, jangan salahkan aku jika aku tidak sengaja ketiduran di sini."
"Terserah," katanya cuek. Ia duduk bersila di atas tempat tidurnya dan bersiap kembali mendengarkan siraman rohani dari Benedict.
"Apa kau tidak bosan? Kau terus membaca buku yang sama berulang-ulang, kan?" tanya Benedict berusaha mengulur waktu. Ia sebenarnya malas jika harus membacakan Alkitab itu pada Eva.
"Tidak. Sama sekali tidak," balasnya. "Apa kau tahu ... kadang saat membaca buku ini, ada sesuatu baru yang bisa aku dapatkan. Misalnya–"
"Ya, ya, terserah saja," potong Benedict cepat. Ia tidak ingin mendengar ocehan Eva lebih lanjut lagi. Pria itu kembali membuka asal dan mulai membacakannya.
"Isteri yang cakap siapakah yang akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan ...." Benedict mendadak terdiam.
Sial! Kenapa buku ini tiba-tiba membahas hal seperti ini? Ia bahkan tak ingat saat ibunya dulu suka membacakan buku ini padanya.
"Kenapa kau berhenti, Benedict?" tanya Eva dengan raut wajah polos.
"Bisa kita baca yang lain?"
"Tidak mau. Kau sudah baca yang itu, jadi lanjutkan saja."
Benedict menyerah. Ia menarik napas dalam dan membaca itu sekali lagi. Ah, semoga saja dia bisa tahan.
"Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan Tuhan dipuji-puji ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...