"Jadi, kau ada urusan kerja di Washington DC? Di hari libur ini?" tanya Eva lewat panggilan video. Tersirat kesedihan di wajah gadis itu.
Pria itu mengangguk. "Ya, ini sangat penting, Eva. Sayang, aku tidak bisa mengajakmu sekarang, mungkin lain kali," jawabnya.
Eva mengerucutkan bibirnya dua senti ke depan. "Kenapa kau tidak mengajakku? Aku ini, kan, sekeretarismu, Ben."
"Aku hanya butuh Dion di perjalanan kali ini, Eva." Itu bukan alasan yang dibuat-buat. Benedict dan Dion memang berencana pergi ke Washington berdua saja. Bukan karena tak ingin mengajak Eva–yang justru ingin sekali Benedict lakukan– melainkan karena ini urusan penting.
"Setelah kembali dari Washington DC, aku akan mengajakmu berjalan-jalan lagi," janjinya yang membuat wajah itu langsung berubah sumringah.
"Aku akan tunggu kau saat kembali nanti," katanya sebelum sambungan itu terputus.
Benedict tak bisa berhenti tersenyum saat selesai berbincang dengan Eva. Padahal baru satu jam saja mereka berpisah, kini sudah saling merindukan. Tak dipungkiri kalau Benedict semakin mencintai Eva dari hari ke hari.
"Anda terlihat senang sekali, Sir," celetuk Dion yang mengganggu Benedict dari lamunannya akan Eva.
"Tutup mulutmu, Dionysius," geram Benedict kesal.
Mati-matian Dion berusaha menahan tawanya. Baru kali ini ia lihat bos besarnya dibuat kasmaran seperti itu. Berkali-kali Benedict menjalin hubungan dengan para wanita, hanya Eva yang mampu membuatnya mabuk kepayang.
"Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, Sir. Bertahun-tahun saya bekerja dengan Anda, baru kali ini saya melihat Anda seperti–"
"Kalau kau masih bicara omong kosong, aku akan penggal kepalamu sekarang juga," potongnya yang langsung membuat Dion tersumpal. "Sebaiknya kau pikirkan rencana kita untuk mengambil perusahaan itu, Dion."
Alasan utama Benedict pergi ke Washington DC karena ia punya janji dengan seorang petinggi Ambroise Corp, Alexander Ambroise. Agenda mereka adalah membahas terkait pembelian perusahaan ayah Eva.
Itulah mengapa Benedict memilih untuk meninggalkan Eva di rumah. Meski ia akan sangat merindukan gadis itu, ini semua yang terbaik.
Dion menyerahkan tabletnya pada pria itu. "Saya sudah menyiapkan semua dokumen yang kita butuhkan. Alexander Ambroise masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan ini. Dan dari rumor yang beredar, pria itu cukup sulit untuk dibujuk."
Benedict menghela napasnya berat. Ia tahu bahwa perjalanannya ini tidak akan mudah. Apalagi dirinya harus berurusan dengan keluarga Ambroise yang tersohor itu. Akan amat sulit.
"Kita harus mengusahakannya, Dion," ucap Benedict. "Bagaimana pun caranya, Eva harus bisa mendapatkan perusahaan itu kembali."
Dion mengangguk patuh. "Saya akan bekerja sangat keras, Sir," kata Dion teguh. "Saya akan berjuang bersama Anda untuk mendapatkan Agnello Company lagi."
"Bukan kau sendiri, Dion." Benedict tersenyum tipis. "Kita berdua. Kita yang akan memberikan hadiah itu kepada Eva."
"Ah ... bicara soal Nona Evangeline, Beliau sebentar lagi berulang tahun," peringat Dion.
"Eh?" Benedict menoleh ke arahnya. "Eva akan berulang tahun?"
Asisten itu lagi-lagi mengangguk. "Minggu depan Nona Evangeline akan berulang tahun yang ke dua puluh tiga."
Ah, sial. Kenapa Benedict bisa tidak mengetahui hal itu? Apakah satu minggu cukup untuk menyiapkan sesuatu untuknya? "Sepertinya aku akan merencanakan sesuatu untuknya," ujar Benedict.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
Narrativa generaleALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...