"Terima kasih banyak, Benedict," ucap Eva berulang kali.
Benedict terdiam. Apa maksudnya gadis ini? Ia sungguh tak memahami jalan pikiran Evangeline. Gadis itu punya pemikiran yang sangat berbeda dari orang kebanyakan. Mungki dia memang gila. "Kenapa kau berterima kasih?"
Eva menatap manik biru Benedict sambil berkaca-kaca. "Aku tak mungkin sanggup melakukannya. Jadi, jika nyawaku harus diambil oleh tanganmu, aku sungguh berterima kasih."
Sinting. Wanita ini benar-benar sinting. Benedict semakin ingin membunuhnya saat itu juga. Eva juga menginginkannya, kan? Jadi bukankah–
"Ben, kau bisa jadi orang yang baik, kan?" Ingatan masa lalu itu mendadak masuk ke otaknya. "Aku mungkin sudah tidak ada ketika kau dewasa. Namun, ingatlah pesanku, Ben. Tetap jadi orang yang baik.... Mom bisa percayakan ini padamu, kan?"
"Iya, Mom!" Benedict kecil mengangguk senang.
Pria itu seketika tersentak. Ia menatap pistolnya dan Eva bergantian. Benedict menarik napas sebelum menurunkan pistol itu. Ia mengangkat wajah Eva sehingga dua mata itu saling bertatapan.
"Jangan... jangan pernah memancing emosiku, Eva. Kau tidak pernah tahu apa yang ada di dalamku," katanya sebelum berlalu dari ruangan itu.
...
Lebih dari seminggu dari kejadian itu. Sejak hari di mana Benedict hampir membunuhnya, Eva mendapat pengawalan semakin ketat. Gadis itu tak diperbolehkan keluar dari kamarnya bahkan untuk makan bersama. Kini, Eva melakukan segala aktivitasnya di kamar itu.
Selain peraturan baru tentang makan, ada perubahan lain yang terjadi di sana. Kaki kanannya diborgol dan tidak bisa dilepas sedetik pun. Eva kini harus tidur, makan, mandi, dan bahkan buang air besar dengan borgol di kakinya.
Semuanya itu masih bisa Eva terima. Ia paham bahwa Benedict ingin menghukumnya. Namun, dari semuanya itu, Eva tidak menyangka bahwa Benedict akan melakukan hal yang amat keji baginya.
Pria iblis itu... membakar kitab suci Eva.
Ketika mengetahui bahwa buku kesayangannya dibakar, Eva kembali menjerit. Traumanya nyaris kambuh, tapi dia masih beruntung. Sangat amat beruntung hal itu bisa ia kendalikan. Eva yang tadinya ceria, berubah menjadi murung. Ia tak lagi memiliki gairah untuk terus melanjutkan kehidupannya.
Kini ia resmi terpenjara. Di sebuah penjara emas yang teramat megah.
"Makan." Benedict baru saja masuk dan membawa sebuah nampan. "Kau bisa mati jika tidak kunjung menelan sesuatu."
Eva tak mengindahkan panggilan itu. Ia terus menatap keluar jendela dengan tatapan sayu. Ia lapar, tapi mulutnya tak bisa mengunyah sesuatu. Eva biasanya makan di depan Benedict hanya untuk dimuntahkan kembali.
"Evangeline Agnello. Jika kau tidak mengambil makanan ini, aku tidak akan memberimu makanan sampai kau mati sendiri–"
"Kalau begitu lakukanlah," ujar Eva sambil menatap mata biru yang memuakkan itu. "Silakan saja kau ambil semua jatah makananku. Jika kau memang ingin membunuhku, kenapa kau tidak melakukannya saat itu, Benedict? Kenapa kau tidak menarik pelatukmu dan menembakkannya padaku? Kenapa saat itu kau berhenti?"
Benedict menarik napas dalam dan mencoba menahan amarahnya. Ia tak bisa jujur soal itu. Mana mungkin ia berkata pada Eva bahwa ingatan lamanya kembali muncul. Ingatan yang mengingatkan Benedict untuk tidak jadi seperti iblis keparat satu itu.
"Karena aku belum puas menjadikanmu mainanku, Evangeline. Aku baru bisa membunuhmu saat aku puas," balasnya dengan seringaian keji.
Rahang Eva bergetar hebat menahan emosi. "Terserah apa katamu, Benedict. Aku bahkan sudah tidak peduli pada perlakuanmu padaku." Gadis itu kembali menatap jendela. Hamparan bunga di luar setidaknya bisa membuat suasana hatinya lebih baik. Jauh lebih baik daripada menatap iblis seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...