Eva masih terdiam. Ia berusaha memikirkan apa maksud ucapan Benedict. Menjadi sekretaris pribadinya? Kenapa harus dia?
"Bagaimana menurutmu, Evangeline?" tanya Benedict sedikit mendesak.
"A-aku tidak tahu," balasnya gugup. "Aku ini hanya tamatan SMA, mana mungkin bisa menjadi sekretarismu. Bukankah itu setidaknya butuh gelar bachelor?"
"Tidak masalah dengan pendidikanmu. Dion bisa mengajarimu hingga kau paham. Lagipula, aku merekrutmu untuk membantu Dion. Dia memang bisa mengatasi semuanya, tetapi tetap saja dia butuh bantuan."
Gadis bermata zamrud itu menghela napasnya. Kalau Eva yang dulu, dia mungkin akan kesenangan. Tapi, seiring dia melihat Benedict semakin Eva sadar bahwa dunia mereka berbeda. Tentu karyawan biasa tidak akan mengerti persoalan yang bos besar mereka hadapi dan bos besar tidak akan peduli juga soal masalah anak buah mereka.
Memangnya Eva bisa menempati posisi penting itu?
"Kalau kau masih kebingungan, aku akan meminta Dion membantu pekerjaanku. Kau bisa–"
"E-eh jangan!' pekik Eva. "Dion akan sangat sibuk, kan? Aku takut akan merepotkannya."
"Aku membayar Dion bukan tanpa alasan, Evangeline. Dia memang ditugaskan untuk hal-hal seperti ini," jelasnya. "Apa kau akan menerimanya, Evangeline?"
Eva menunduk. "Aku ... akan memikirkannya nanti," gumam gadis itu.
"Aku butuh jawabannya sekarang," tegas Benedict menekankan kata sekarang.
Eva menggeram pelan. Pria satu ini ... kenapa dia selalu terburu-buru. Apa dia tidak berpikir akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika Eva bekerja bersamanya?
"Bisakah kau menunggu sebentar, Benedict?"
"Tidak, Evangeline. Aku tidak punya waktu untuk–"
"Kalau itu maumu, jangan pekerjakan aku, Benedict," potong Eva keras. Ia lalu menatap pria itu tajam. "Aku hanya perlu memikirkan hal ini. Kalau kau tidak berniat menunggu, pekerjakan saja orang lain."
Benedict mengeraskan rahangnya. Dasar aneh. Padahal ini tawaran yang sangat bagus. Entah berapa wanita mengantri untuk bisa menjadi sekretaris seorang Benedict Alger. Tapi Evangeline? Gadis itu bahkan sok berpikir keras.
"Baiklah, aku akan menunggu. Tapi kalau seperti itu, akan ku pastikan kau hanya menjawab 'iya.'"
...
Benedict benar-benar tidak berbohong soal apa yang ia bilang. Pria itu terus menerus meneror Eva dengan pertanyaan yang sama.
"Apakah kau sudah ingin bekerja denganku?"
Itu yang selalu ia tanya kapan pun dan di mana pun. Saat mereka sedang berada dalam sesi 'hukuman', Benedict akan mengakhirinya dengan pertanyaan itu. Dan sekarang, mereka tengah sarapan pagi. Tentu Benedict tidak lupa dengan kegigihannya bertanya.
"You know what? Fine. Aku akan bekerja denganmu," ujar Eva akhirnya.
Pria bernetra biru itu tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, ia bisa menaklukan gadis keras kepala satu ini. "Baik, kita akan mulai persiapannya."
Eva memejamkan matanya lelah. Setidaknya ia bisa lepas dari pertanyaan konyol terus-menerus itu. "Memangnya banyak yang harus dipersiapkan?" tanyanya malas.
Benedict mengangguk. "Tentu saja. Kau itu hanya lulusan SMA dan pengalaman kerjamu hanya sebagai pegawai rendahan. Sekarang kau itu masuk dalam jajaran pegawai tingkat tinggi."
"Yah, baiklah." Eva mengerut kesal. Kenapa harus ditegaskan pula kalau dia ini memang pegawai rendahan? Dia juga tahu!
Pria itu kemudian memanggil asisten pribadinya. Mereka berdua membicarakan hal yang harus Eva lakukan terkait persiapannya sebagai sekretaris Benedict. Sementara Eva hanya dia memerhatikan sambil memakan sarapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAPE
General FictionALGERS #1 18+ 𝘼𝙜𝙖𝙥𝙚, 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖. Benedict Ezekiel Alger, tumbuh besar dengan dendam...