9

11.5K 735 7
                                    


"Ini mau kemana, pak?" Tanya Mira pada Ibrahim yang tengah fokus menyetir.

Namun pria itu memilih untuk tidak menjawab dan membiarkan Mira tahu dengan sendirinya nanti.

Kini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, akan tetapi Mira belum mengetahui tujuan mereka karena beberapa menit yang lalu Ibrahim hanya memintanya untuk ikut bersamanya secara tiba-tiba tanpa penjelasan apa pun.

"Pak?" Tanya Mira lagi memastikan Ibrahim mendengarkannya.

"Kamu tau sendiri nanti." Jawabnya singkat tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

Mira terdiam, tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Lebih baik ia menunggu saja di mana mobil ini akan berhenti nantinya.

Sekitar dua puluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai di sebuah gedung rumah sakit.

"Duh, apaan nih?" Gumam Mira dalam hatinya.

Perasaannya mulai tak enak ketika mengikuti langkah Ibrahim menuju suatu kamar inap.

Nampak pria itu berhenti di depan sebuah pintu dengan sebilar papan nama terpasang di dinding.

Laluna Cleva Putri Atmadja.

Seketika sepasang mata Mira membulat, nafasnya tercekat. Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa Cleva yang berada di dalam kamar itu.

Jadi inilah alasan mengapa gadis manis itu tidak pernah terlihat beberapa hari terakhir ini?

Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya.

Ibrahim mempersilakannya masuk. Dengan perlahan Mira melangkahkan kakinya memasuki kamar inap tersebut.

Dilihatnya tubuh mungil Cleva terbaring lemah dengan alat-alat menyebalkan terpasang di tubuhnya.

"Cleva..." Lirihnya masih tidak percaya.

"Cleva menderita penyakit langka yang mengganggu perkembangan jantungnya, penyakit itu bisa kambuh kapan saja. Dan beberapa hari lalu penyakitnya kembali kambuh."

Mira menoleh ke arah Ibrahim, ia menatapnya tidak percaya.

"Sayangnya, satu-satunya tindakan hanya transplantasi jantung, dan jantung yang bisa menggantikannya hanya jantung ibunya atau jantung orang lain yang memiliki kecocokan. Tapi akan sulit sekali untuk menemukannya." Jelas Ibrahim lagi.

"Terus gimana, pak?" Tanya Mira dengan suara parau.

Ibrahim menunduk sedih, "Dokter memvonis usianya nggak lama lagi."

Mira membekap mulutnya seketika, air matanya semakin deras. Ia kemudian menatap Cleva yang masih terbaring lemah di hadapannya.

"Untuk itu, atas nama Cleva saya mohon sama kamu untuk memikirkan ulang tentang lamaran saya." Ucap Ibrahim. "Saya cuma berharap di saat-saat terakhirnya, saya bisa memberikan apa yang selama ini Cleva butuhkan dalam hidupnya. Cleva butuh sosok ibu." Lanjutnya lirih.

Mira menghela nafas pelan, sepertinya ia memang harus menerima lamaran Ibrahim. Meski Ibrahim memintanya untuk Cleva, bukan untuk dirinya sendiri.

Wanita itu kemudian mengangguk sebagai tanda menerima lamaran Ibrahim.

"Iya, pak. Saya bersedia menikah sama bapak."

Ibrahim mendongak, menatap Mira dengan matanya yang sudah berkaca-kaca sejak tadi.

"Kamu benar-benar menerima saya?"

Mira mengangguk lagi, "Saya yakin buat menerima bapak sebagai suami saya dan menerima Cleva sebagai anak saya, pak. Saya sangat menyayangi Cleva."

Ibrahim tersenyum. Kuulangi lagi, pria itu tersenyum. Untuk pertama kalinya, Mira berhasil membuat Ibrahim tersenyum.

Senyuman Ibrahim sendiri seperti pelangi di tengah langit yang menggelap bagi Mira, sungguh indah.

"Terima kasih, Mira."

***


"Halo, bu? Assalamualaikum." Ujar Mira pada ibunya di seberang sana.

"Waalaikumsalam, nduk. Kamu kok baru nelpon ibu tah?" Sahut ibunya.

"Errr iya, maaf, bu. Akhir-akhir ini Mira sibuk banget. Ibu baik kan kabarnya?"

"Baik alhamdulillah, nduk. Kamu gimana?"

"Alhamdulillah Mira juga baik, bu." Jawab Mira. "Hmm ada yang mau bicara sama ibu." Sambungnya.

"Lho siapa? Kamu lagi diculik tah, nduk?" Tanya ibunya seketika panik.

Ibrahim yang berdiri di samping Mira terkekeh pelan.

"B-bukan gitu, bu. Mira lagi ndak diculik kok, ini temen Mira mau bicara sama ibu." Jawab Mira malu.

"Eh lah dalah, tak kira kamu lagi diculik lho, nduk." Omel sang ibu.

Mira cepat-cepat memberikan ponselnya pada Ibrahim yang masih memandanginya sembari menahan tawa.

"Assalamualaikum, bu? Saya Ibrahim, calon suaminya Mira." Ujar Ibrahim sukses membuat Mira hampir pingsan.

"Eh astaghfirullah, nduk! Kok kamu ndak bilang-bilang udah punya calon tah?? Pak! Kita punya mantu, pak!" Teriak ibunya di seberang sana.

Ibrahim tertawa pelan, kemudian melirik Mira yang sedang menunduk malu.

"Maaf, bu nggak bilang-bilang. Saya sengaja minta Mira buat merahasiakan ini dulu." Jelas Ibrahim.

"Duh nak Ibrahim ini lho pake rahasia-rahasia."

"Biar kejutan buat bapak sama ibu hehe."

"Yowes tah, kapan kalian main ke sini? Bapak sama ibu kepingin ketemu dulu."

"Iya, bu. InshaAllah secepatnya, pasti kami main ke rumah, bu."

"Iyo jangan lama-lama, yo. Penasaran ibu sama nak Ibrahim ini, dari suaranya aja ganteng banget."

Kali ini Ibrahim tak bisa menahan tawanya. Ia tertawa renyah sembari sesekali menengok Mira yang masih tertunduk menyembunyikan malunya.

"Udah dulu nggih, bu? Kita mau pergi lagi hehe. Assalamualaikum!" Kata Mira cepat-cepat merebut ponselnya dari Ibrahim.

Ia langsung mematikan sambungan telepon dengan ibunya.

"Lho kan saya belum selesai bicara sama ibu kamu?" Protes Ibrahim.

"Hehe maaf, pak. Ibu saya memang suka kurang sopan."

"Nggak apa-apa, toh bakal jadi mertua saya juga."

Sial! Kalimat terakhir Ibrahim benar-benar membuat Mira ingin terbang ke angkasa saja rasanya.

"Kamu orang mana, Mira?" Tanya Ibrahim mengganti topik.

"Jogja, pak. Tapi di desanya."

Ibrahim mengangguk mengerti.

"Nanti setelah Cleva boleh pulang, kita ke rumah bapak ibu, ya?" Ajak Ibrahim.

Mira menatapnya tidak percaya, "Eh? Serius, pak?"

"Yaiya, kalo saya serius menikahi kamu ya saya juga harus serius minta ke bapak ibu kamu."

***

HALO
KALIAN PADA GABUT GAK SIH?
AKU GABUT BANGET JADI UP INI DEH XIXIXI

JANGAN BOSAN TABURKAN BINTANG 🤩

Duren MatengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang