8

12.1K 714 5
                                    


"DEMI ALLAH?!" Teriak Beni setelah mendengar cerita Mira.

"DEMI ALLAH, BEN! PAK IBRAHIM NGAJAK GUE NIKAH!" Mira balas berteriak pada teman baiknya itu.

Saat ini mereka tengah makan malam di pondok bakso langganan mereka setiap pulang kerja.

"Trus gimana? Lo terima nggak?" Tanya Beni penasaran.

Mira menyeruput kuah baksonya.

"Hmm, gue bilang bakal pikirin dulu sih."

"Halah bego lo!"

"Hah? Kok bego sih?"

"Ini kesempatan lo ege, Mir. Coba bayangin kalo lo jadi nyonya Atmadja, apa nggak kebeli tuh sawah-sawah di kampung lo? Gue juga yakin bonyok lo bakal seneng banget punya mantu setajir pak Ibrahim. Dah lo mah tinggal nikmatin hartanya aja!"

"Heh sembarangan lo! Dikira gue sematre itu apa?"

"Ini bukan masalah matre atau enggaknya, Mir. Tapi coba lo pikir lebih jauh lagi deh, pikirin hutang-hutang bokap lo yang numpuk itu. Cuma dengan jadi istri pak Ibrahim, itu hutang-hutang bisa lunas tanpa lo harus banting tulang ngepel kantor sana sini."

Yang dikatakan Beni ada benarnya. Mira bisa membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah 180 derajat setelah menikahi duren matengnya itu.

Lagipula bukankah itu cukup adil? Ibrahim menikahinya untuk Cleva dan Mira menikahi Ibrahim untuk keluarganya.

"Ah enggak ah. Gue mah walaupun nikah sama dia ntar tetep nggak mau minta uang sepeserpun buat bantu masalah keluarga gue. Yahh, kecuali dia mau jadi volunteer sih." Ungkap Mira, sedikit munafik memang.

"Nahkan, emang banyak gaya lo mah. Tinggal terima aja apa susahnya sih? Kan gue juga bisa kena getahnya." Timpal Beni lagi.

"Maksud lo?" Tanya Mira bingung.

"Sistem orang dalem." Jelas Beni singkat.

Mira langsung mengerti maknanya. Beni pasti berharap Mira akan meminta Ibrahim untuk menaikkan "jabatan" Beni jika Mira menikah dengan bos mereka itu.

"Tau deh, masih gue pikirin. Dah ah lanjut makan tuh bakso lo udah berlemak." Tutup Mira.

Mereka pun melanjutkan makan malam mereka dengan Beni yang tidak berhenti menyudutkan Mira untuk segera menerima lamaran Ibrahim.

***


Ibrahim melangkahkan kakinya gusar menelusuri lorong-lorong rumah sakit yang ramai akan para pasien dan pengunjung. Ia baru saja mendapat telepon dari suster yang berjaga bahwa Cleva kembali mengalami masa kritis lagi setelah semalam dinyatakan mulai membaik.

"Bagaimana anak saya, suster?!" Tanya Ibrahim tidak sabar.

"Tenang, pak. InshaAllah anak bapak baik-baik saja, tadi sudah ditangani dokter." Jelas sang suster.

Pria itu menghembuskan nafas lega, dalam hatinya ia sangat bersyukur putrinya baik-baik saja. Namun di sisi lain ia juga masih sangat hancur mengingat vonis dokter tempo hari.

Ibrahim kemudian memasuki ruang inap Cleva. Didapatinya gadis kecil itu tengah terlelap dengan berbagai alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuh mungilnya.

Tanpa aba-aba, air mata Ibrahim berhasil membasahi wajah tegasnya yang selama ini begitu dingin. Batinnya menangis, jiwanya seperti tercabik melihat permata hatinya itu terbaring lemah di dalam gedung menyebalkan ini.

Harusnya sekarang mereka sedang mengobrol di kamar Ibrahim sampai larut malam, atau sedang membaca dongeng sebelum tidur bersama. Sungguh Ibrahim sangat merindukan momen itu.

Ia mendudukkan dirinya di kursi yang terletak di samping tempat tidur Cleva. Pria itu meraih tangan putrinya dan mengecupnya beberapa kali.

"Maafin daddy, sayang." Lirihnya.

Ia sungguh tak kuasa menghadapi semua ini. Jika saja ia bisa bertukar posisi, tentu ia tak akan berpikir panjang untuk melakukannya. Apa pun itu asal Cleva bisa kembali tertawa seperti biasanya.

"Daddy?" Lirih Cleva.

Spontan Ibrahim mendongak, rupanya Cleva telah terbangun dengan mata yang masih terpejam. Ibrahim dapat melihat putrinya sedang menahan sakit.

"Cleva sayang, daddy di sini!" Ujar Ibrahim sembari menggenggam tangan kecil Cleva.

"Tante Mila..." Lirih Cleva lagi.

Ibrahim terdiam.

"Sayang? Daddy di sini." Bisik Ibrahim dengan suara parau.

Cleva membuka matanya perlahan, ia kemudian menatap ayahnya sayu.

"Tante Mila mana, daddy?" Tanya Cleva dengan lemah.

"Cleva mau tante Mira?"

Cleva mengangguk pelan, "Cleva mau main sama tante Mila lagi."

Ibrahim menyunggingkan senyum getir, ia mengangguk menyanggupi permintaan putrinya.

Meminta Mira untuk menjadi istrinya seperti yang ia lakukan siang tadi rupanya sudah tepat. Ia hanya perlu meyakinkan Mira untuk segera menerima lamarannya.

"Cleva harus sehat dulu, ya? Nanti daddy janji bakal bolehin Cleva main sama tante Mira setiap hari." Ucapnya lembut.

Lagi, gadis kecil itu mengangguk lagi. Kali ini sembari tersenyum. Mira memang selalu bisa melukiskan senyum di wajah cantik Cleva.

"Pinter anak daddy."

***

EHH MAAF SEDIKIT DOANG XIXIXI
SEMOGA KALIAN MASIH SUKA YAA
🤗

BTW AKU SENENG BANGET DI CHAPT 7 DAPET 8 VOTES SOALNYA KEK SESUATU BANGETTTT BAGIKU HUHU THANK U SO MUCH!

JANGAN LUPA TABURKAN BINTANG
🤩

KALO ADA 5+ VOTES NANTI AKU UP NEXT CHAPT HIHI

Duren MatengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang