12

10.8K 632 20
                                    


"Kamu kenapa ndak bilang kalo calonmu itu sudah pernah berumah tangga tah, nduk?" Tanya ibunya.

"Maaf, bu. Tapi Mira sama mas Ibrahim saling sayang kok. Kami yakin bisa baik-baik aja, Mira juga sayang banget sama Cleva." Jelas Mira sembari mengawasi Cleva yang berada tak jauh dari tempat ia dan ibu duduk sekarang.

Kini Mira sedang duduk di teras belakang bersama ibunya membicarakan tentang Ibrahim.

"Bukan itu masalahnya, nduk. Tapi apa kamu sudah siap untuk menikah dan langsung menjadi seorang ibu sekaligus? Yang harus kamu layani nanti bukan cuma suami kamu, tapi Cleva juga. Jadi seorang istri dan ibu itu ndak mudah lho."

Mira menghela nafasnya, "Mira tau, bu. Tapi InshaAllah Mira bisa kok, Cleva juga nurut banget sama Mira."

"Yasudah kalo memang itu pilihanmu, ibu sama bapak cuma bisa berdoa yang terbaik buat kalian." Kata ibu sembari membelai rambut putri semata wayangnya itu. "Kalo ibu boleh tau, mantan istrinya nak Ibrahim itu kemana?" Lanjut ibu.

"Sudah meninggal waktu ngelahirin Cleva, bu."

Refleks, ibu menutup mulutnya dan menoleh ke arah Cleva yang masih sibuk bermain dengan teddy bearnya.

"Makanya, bu. Mira kepingin banget sayangin Cleva setiap hari, Cleva butuh banget sosok ibu di sampingnya, bu. Apalagi pak eh mas Ibrahim sering sibuk bisnis sana sini, Cleva jadi sendirian terus." Lanjut Mira.

"Iyo, ibu ngerti sekarang. Tapi pernikahan kalian ini bukan karena Cleva kan?" Pertanyaan ibu kali ini membuat Mira terdiam.

"Oh enggak kok, bu." Jawab Mira pada akhirnya.

Mengelabui ibunya bukanlah keahlian Mira, karena nyatanya kini sang ibu justru menyipitkan matanya berusaha mencari kebohongan di balik sepasang mata hitam itu.

"Jujur saja sama ibu, nduk."

"Mira jujur, bu."

"Mata kamu ndak pernah bisa bohongin ibumu lho."

Benar saja, ibunya tahu Mira tengah berbohong. Lagipula menurut ibunya, sangat mustahil seorang gadis seperti Mira bersedia menikahi duda beranak satu itu.

Yah, meski yang kita tahu tentu itu sama sekali tidak mustahil karena, ayolah!

Mira sudah menyukai Ibrahim sejak pertama kali melihat pria itu dan menikah dengan Ibrahim sudah menjadi mimpinya selama ini.

"Memang ada sesuatu yang mengharuskan kami buat segera menikah, bu."

"Kenapa itu, nduk? Kamu hamil?!" Ibunya panik

Mira membelalakkan matanya, kemudian dengan cepat ia menggeleng.

"Doain aja, bu hehe." Celetuk hati Mira.

"Bukan, bu. Ini tentang Cleva."

"Oalah, udah kaget lho ibu." Protes ibu. "Ada apa sama Cleva tah?" Lanjutnya.

Mira menarik nafas mencoba menguatkan dirinya untuk tidak menangis, "Tapi ibu janji yo jangan cerita ke bapak soal ini?"

Ibunya mengangguk sebagai janji.

"Dokter memvonis umurnya sudah ndak lama lagi, bu. Cleva punya masalah sama jantungnya dan satu-satunya hal yang bisa pak Ibrahim lakukan cuma ini, memberi Cleva kasih sayang seorang ibu yang belum pernah Cleva dapet sejak lahir."

Ibunya menangis, ia tak menyangka anak seceria Cleva harus menahan sakit yang begitu dalam.

"Ya Allah, nduk." Lirih ibunya memandangi Cleva.

"Makanya Mira mohon izin sama ibu sama bapak buat merestui hubungan kami ini. Bukan buat Mira atau pak Ibrahim, tapi buat Cleva, bu." Ujar Mira.

Ia menatap nanar ibunya penuh harap.

"Tapi gimana sama nak Ibrahimnya? Kamu yakin dia akan perlakuin kamu seperti seorang istri? Ndak ada cinta di antara kalian lho, nduk. Rumah tangga yang penuh cinta saja masih bisa gagal, apalagi kalian nanti?"

Mira menggeleng, "Pernikahan ini buat Cleva, bu. Mira ndak peduli gimana pak Ibrahim ke Mira nantinya. Saat ini fokus kami cuma Cleva, bu."

Bohong, tentu saja Mira berbohong. Meski pernikahannya memang untuk Cleva, ia tetap mengharapkan Ibrahim akan mencintainya suatu saat nanti, seperti dirinya mencintai pria itu.

Lagipula, Mira salah satu manusia yang berprinsip "witing tresno jalaran soko kulino". Ia yakin cinta mereka bisa bertumbuh subur karena terbiasa bersama nantinya.

Ibu mengangguk, "Yowes, kalo pun memang belum ada cinta di antara kalian, ibu sama bapak pasti akan selalu berdoa buat kebahagiaan kalian."

Mira langsung memeluk ibunya erat sebagai tanda terima kasih.

Di sisi lain rumah, dengan waktu yang sama, Ibrahim masih sibuk berbincang dengan bapak.

"Kenapa kamu mau nikah sama anak saya tah, mas?" Tanya bapak.

Ibrahim membasahi bibir bawahnya, bersiap menjawab pertanyaan sakral tersebut.

"Saya sangat menyayangi Mira, pak. Kami saling mencintai, saya yakin Mira bisa menjadi ibu yang baik buat anak-anak saya nantinya, pak." Jawab Ibrahim lancar.

Bapak mengangguk paham.

"Kalo bapak sebenernya tergantung Miranya sendiri mau apa ndak gitu. Karena bapak sama ibu sebagai orang tua cuma bisa mendoakan yang terbaik buat kalian, mas."

"Iya, pak. Alhamdulillah Mira juga sudah menerima lamaran saya. Nah, kedatangan saya kemari ini buat meminta Mira baik-baik kepada bapak sama ibu karena gimana pun kan Mira tetap anak bapak ibu."

"Kalau begitu langsung disegerakan saja tah, mas. Mau tanggal berapa?" Tanya bapak dengan senyum bahagia.

Bagaimana tidak? Ia akan segera melepas putri semata wayangnya untuk menikah dengan pria baik nan sukses seperti Ibrahim.

"Kalo buat tanggal sepertinya saya mau bicara sama Mira dulu, pak." Jelas Ibrahim sopan.

***

HAII
AKU DOUBLE UP SOALNYA SENENG BANGET BANYAK YANG VOMMENTS HUHU GAK NYANGKA BANGET
MAKASIH YA SEMUA BUAT DUKUNGAN KALIANN

SEMOGA NGGAK BOSEN-BOSEN BACA CERITA INI 😁

JANGAN LUPA TABURKAN BINTANG, MANIEZ 😘✨

Duren MatengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang