31 √ Mimpi Buruk Masa Lalu

306 33 24
                                    

Orang lain barangkali memandang Geneviève Windsor sebagai gadis yang memiliki segalanya di telapak tangannya—yang bisa merubah tata sosial di sekitarnya tanpa perlu angkat bicara jika dia ingin melakukannya.

Bagi mereka, Geneviève Windsor adalah standar, trend setter paling mumpuni dengan latar belakang cemerlang juga marga keluarga kerajaan yang eksklusif. Mayoritas dari khalayak mengaguminya, sebagiannya lagi iri padanya karena ingin jadi dirinya. Viè adalah personifikasi jelmaan sang dewi artemis dari peribahasa 'bagai pungguk merindukan bulan'—sosok yang didamba namun tak akan pernah dapat dicapai.

Sayangnya, dunia itu adil. Yang namanya pengecualian juga berlaku bahkan untuk Viè yang terlahir sempurna, segala retorika indah di atas tidak berlaku bagi seorang Dewantara Arjuna Prasetya.

Dengan pandangan tidak terbaca yang menutupi berjuta-juta rahasia dan sebuah ekspresi kalem tanpa emosi, tatap kelabu keperakan Dewantara tidak pernah menganggap Viè berbeda dengan orang lain; bukan karena baginya Viè adalah manusia biasa tanpa gelar dan menganggapnya setara, namun karena di mata seorang Dewantara mereka yang tidak mampu mempertahankan perhatiannya lebih dari sejenak adalah pemeran tidak penting di hidupnya—tidak lebih dari hanya sebatas tokoh 'ekstra'.

Geneviève yang selalu digelarkan karpet merah oleh mereka yang mengetahui siapa dirinya bahkan tidak akan pernah dilirik oleh Dewantara kalau ia tidak berguna—kalau bagi orang ini, Viè tidak memiliki nilai.

Lebih dari siapapun, Viè adalah orang yang paling tau hal ini—satu dari sekian yang pernah berhadapan langsung dengan keburukan hina seorang Dewantara Arjuna Prasetya dibalik wajah tampan bak pangeran berkuda putih miliknya, sekaligus satu dari sekian yang dibiarkan lolos olehnya karena tidak terlibat segala rencana dan usaha mereka yang mengecam tahta tak kasat mata milik Dewantara.

Barangkali di mata pemuda dengan moral abu gelap itu, manusia lain hanyalah sosok monokrom semi-transparan tanpa wajah—semuanya sama dan setara, sama-sama tidak menarik dan sama-sama tidak penting.

Pandangannya tidak mendiskriminasi, hanya saja ia juga tidak menganggapmu 'orang'. He'll treat everyone equally as a human, but not as a person.

"I'm begging you." Suara gadis jelita terdengar perih, empunya tidak ragu untuk berlutut memohon—putri seorang Marqués yang sebelum ini tidak akan segan menghardik mereka yang tidak dianggapnya itu merendahkan dirinya sedemikian rupa. "Please, I'll do anything you want me to do. I'm begging you, please don't involve my parents—it was my fault and mine alone."

Geneviève mengedarkan netra hijau lautnya dari apa yang tengah terjadi di hadapannya, genggamannya pada gelas berisi cokelat panas miliknya makin erat. Ia tidak ingin diikutcampurkan terhadap apa yang tengah terjadi di common room asrama kelas delapan.

Saking heningnya common room mereka malam itu, barangkali Viè bisa mendengar jarum yang jatuh ke lantai—bahkan jika diredam karpet.

Tidak ada satu pun siswa yang berani berbicara—bernapas saja harus berhati-hati agar derunya tidak terdengar. Walau mereka ketakutan setengah mati dan ingin sekali pergi dari tempat itu, tidak ada yang berani beranjak pergi secara tiba-tiba—serempak 'diam' dan berpura-pura memiliki kemampuan berkamuflase dengan lingkungan di sekitar mereka.

Geneviève tidak menyalahkan mereka, ia juga merasakan hal yang sama—kalau bisa, ia ingin bumi menelannya bulat-bulat di saat itu juga agar ia tidak perlu menyaksikan yang tengah terjadi langsung di hadapannya ini.

Walau ia yakin heater di sekolah dengan uang tahunan siswanya berjumlah ratusan ribu poundsterling itu menyala, dinginnya malam Januari yang menusuk rasanya merayap ke dalam ruangan dan merasuk ke sanubari mereka yang hadir saat itu—hawa beku yang menusuk datang dan menetap, menggerayangi ruangan mewah yang dicahayai lampu-lampu chandelier keemasan itu.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang