Pada suatu ketika, Leonel Dirgasadewa Pramudya bukan pemuda yang sekarang bisa dengan percaya diri bicara lantang di depan ribuan pasang mata.
Ia bukan Leonel yang bisa membungkam orang lain hanya dengan sekali menatap tajam.
Ia bukan Leonel yang bisa yakin dirinya akan dipilih menjabat Ketua OSIS angkatannya di pemilihan nanti.
Ia juga bukan Leonel yang bisa menapak ke depan dengan aspirasinya sendiri.
Dulu kala, sebelum Siegfried – sebelum Aldy. Sebelum Arkan, Fathan, dan Gibran.
Sebelum itu semua, ia hanya seorang anak hasil pernikahan politik yang menjadi pion kesayangan ibunya untuk unjuk diri di depan publik.
Ia dibangga-banggakan mengenai sesuatu yang bukan miliknya.
Ia dijadikan pajangan – sebuah trofi penanda ibunya merupakan istri sah ayahnya. Hal itu mengundang iri dan takjub dari berbagai kalangan.
Kala itu masa suram hidupnya.
Ayahnya tak menganggapnya, bahkan tak mengakuinya. Mengapa? Karena ia punya kakak tiri dari wanita yang dicintai ayahnya – wanita yang jadi candu juga jadi obsesi penuh ayahnya.
Orang itu terus menerus menjadi pusat perhatian sang Ayah, sementara Leon ditinggal memungut jejak langkah ayahnya yang tertinggal tanpa tahu arah harus kemana.
Leon benar-benar benci bila harus mengingat masa-masa itu.
Ia bukan boneka.
Namanya Leonel Dirgasadewa Pramudya, dan ia putra bungsu yang tak pernah Ayah anggap.
Namun, kau salah mengira jika berpikir ia benci kakak tirinya itu.
Leon menyayangi kakaknya, yang menjadi payung baginya – menghormati kakaknya yang sudah menjadi panutannya, dan segan kepada kakaknya juga segala yang ia bisa.
Terlebih lagi, Leon berterima kasih pada kakaknya.
Karenanya, ia ada di Siegfried sekarang.
Karenanya, ia bisa melangkah lagi.
Pesta megah meriah bukan tempatnya, Leon lebih suka berdiam diri di kamarnya ditemani kanvas kosong dan persediaan cat miliknya.
Sosial elit bukan kawanannya, karena Leon lebih senang bermain dengan anak-anak sepantarannya yang bisa membuatnya merasa masih layak sebagaimana umurnya.
Harta melimpah bukan apa yang ia inginkan, Leonel lebih menyukai barang yang ia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri – yang baginya memang pantas ia dapatkan.
Ia tidak suka dikurung, walaupun sangkar itu terbuat dari emas murni dengan pahatan tangan Michelangelo sendiri.
Satu-satunya yang tak akan pernah Leon tukar bahkan jika tujuh trilliun manusia di bumi mengorbankan segala dari mereka untuknya adalah kebebasannya.
Leon mencintai kebebasannya bahkan lebih dari hidupnya. Jika ada saatnya nanti ia harus merelakan kebebasan itu hanya karena ketidakmampuannya, Leon memilih untuk melayang lepas bersama apa yang seharusnya menjadi pilihannya.
Itu mengapa ia dulu depresi berat ketika harus masuk asrama macam Siegfried.
Sekali lagi, dulu. Karena Leonel akan mengecam siapa saja yang berani merenggut apa yang sudah ia dapatkan di surga kecilnya yang satu ini sekarang.
Jadi anak baru itu tidak enak.
Leon bukan termasuk social butterfly macam ibunya, bukan juga seseorang yang bisa mendapatkan perhatian orang lain tanpa meminta hanya dengan wibawa seperti ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Roman pour AdolescentsFirst Book from the 'Arcanum' Trilogy, Apriori. . Siegfried International Academy bukan sekolah sembarangan, kata orang lain. Isinya hanya para kaum elit, isinya hanya para jenius dengan latar belakang yang bukan main-main. Di mata kaum awam, yang m...