32 √ Demarkasi 'Kekuasaan'

248 31 39
                                    

Sebuah taman hotel didekor sedemikian rupa, disulap menjadi arena perjamuan megah dengan lentera-lentera cantik yang digantung menjadi sumber cahaya.

Meja-meja bertaplak kain putih di susun rapi, diisi tamu undangan yang saling bercengkerama dengan satu sama lain—beberapa juga mondar-mandir untuk mendatangi teman mereka di meja lain, atau ada yang berdiri dalam sebuah kelompok kecil untuk berbincang.

"We'll just stay here for a while—setengah jam habis acara mulai, paling." Kak Vee* berucap kepada Eleanor dengan suara rendah saat mereka berjalan memasuki lobi hotel untuk menuju ke pesta ulang tahun mewah yang diadakan salahsatu kakak kelas mereka itu.

Sebenarnya mereka tidak harus datang—orang yang mengadakan acara tidak sepenting itu sampai-sampai mewajibkan 'Alvion Wilhelm' untuk datang langsung bersama sepupu kesayangannya.

"Kita nunggu acara mulai? Nggak sat-set-sat-set selesai?" Leah bertanya, menoleh ke sepupunya yang mulai memasang senyum itu. Vion melirik sedikit kepadanya, mendengus pelan.

"I'm not Aldy yang bisa seenaknya sendiri dan persetan sama konsekuensi." Alvion mengedarkan pandang. "Papa bakal ngamuk kalau denger laporan anaknya nggak beretika."

Eleanor menyipit sinis ke arah Alvion. Dia tidak terima implikasi atas kata-kata kakak sepupunya itu. "Maksud Kak Vee, Aldy nggak beretika, gitu?"

Kak Vee menghentikan langkahnya sebelum mereka berjalan ke luar menuju outdoor venue, Eleanor ikut berhenti juga. Pemuda dengan senyum cemerlang khasnya itu menoleh ke Eleanor dan mengaba kepadanya dengan mengangkat lengan kirinya. Eleanor reflek meraih lengan bagian atas Vion untuk digandeng walau pandangannya masih meminta kejelasan.

"Anggep aja ini pelajaran baru, Lil' Sist." Kak Vee-nya itu berucap pelan. "Etika itu courtesy—gunanya sebagai tanda penghormatan ke orang lain. Sebuah norma sosial, yang artinya etika itu cuma social construct—buatan manusia."

Vion menepuk-nepuk pelan jemari Eleanor yang menggandeng tangan kirinya dengan tangannya yang kosong. "Yang namanya norma sosial itu kalau dilanggar bakal bikin yang ngelanggar merasa bersalah dan nyesel—terutama setelah dihakimi massa karena pelanggarannya dan rusaknya reputasinya. Emotion, sister dearest, is a strong driving force for anything and everything."

Eleanor diam dan tidak menjawab, hanya menatap ke Vion yang juga mempertahankan pandangannya ke Eleanor.

"Kenapa gue nurut atas human-made construct ini? Karena yang gue bawa bukan cuma diri gue sendiri tapi nama 'Wilhelm'—baik itu nama keluarga kita atau nama perusahaan Papa. Sementara itu, people like Aldy have nothing to lose—or they do, but they couldn't care less."

Segala yang diucapkan Alvion—yang diucapkan Fathan—benar adanya. Kalau Eleanor melakukan sesuatu, pasti yang dilakukannya itu akan dikaitkan dengan orang tuanya—bahkan Keluarga Wilhelm. Aldy hanya akan membawa dirinya sendiri—dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya melakukan sesuatu dengan seenaknya sendiri.

"Now, chin up and remember what I said earlier."

Mereka pun melangkah ke pesta ulang tahun meriah itu bersama.

Eleanor Cassandra Farrelzean itu tidak bodoh.

Ya, siapa juga yang mengira bahwa ia bodoh? Ia terdaftar sebagai siswa Kelas A bukan karena ia adalah sepupu Fathan Alviano Wahyudi dari garis keturunan ibunya—ia berhak berada di Kelas A, salahsatu siswi paling cerdas Siegfried divisi SMP.

Walaupun memang ia merupakan gadis yang dimanja oleh nyaris semua orang yang ia kenal di hidupnya, Eleanor bukan tipikal putri orang kaya yang hanya tau tentang trend mode terbaru dan menghamburkan uang hanya untuk barang limited edition.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang