22 √ Kelas

274 27 4
                                    

Gibran tengah berada di kelas kala itu walaupun jam istirahat, duduk menyamping di kursinya sambil bicara dengan Fathan – mereka tengah membahas pengaturan ulang juri sekaligus inovasi tambahan untuk pengganti.

Bel tanda pengumuman berbunyi, percakapan mereka berhenti untuk menoleh ke arah speaker kelas.

"Selamat siang dan maaf mengganggu kepada siswa-siswi sekalian yang sedang beristirahat."

Fathan dan Gibran saling pandang. Nama mereka berdua masih berada di deret akhir, namun mereka yakin ada nama mereka di sana.

Fathan langsung meraih ponselnya, kemungkinan mengirim pesan pada Aldy.

Sementara itu, Gibran berbalik ke teman-temannya untuk izin undur keluar kelas dulu.

Fathan dan Gibran berjalan menyeberangi taman Kelas Unggulan.

"Lo udah tau belum 'sih pelakunya siapa?" Gibran menolehkan kepalanya ke Fathan, yang tengah sibuk dengan handphone miliknya.

"Belum," aku Fathan agak frustasi. "Aldy nggak ngasih tau apa-apa, gue jadi agak nggak enak sama sidang hari ini."

Gibran menyerngit, belum apa-apa? "Yang jadi Penuntut hari ini siapa, dong? Yakali Aldy mau maju sendiri. Lo udah nanya Leon apa Arkan gitu?"

Fathan menganggukinya, "Udah. Negatif juga."

Aw shiet. Gibran mencium bau-bau drama yang menguar begitu dahsyat, sedahsyat Kak Dikov kalau siscon-nya lagi kambuh.

"Bau-bau drama," Fathan berucap sambil masih memandangi ponselnya seakan ia bisa membaca pikiran Gibran.

"Banget." Gibran menyetujui, "Gue kasihan sama mereka yang ikut sidang hari ini."

Fathan meliriknya, tapi cowok yang tengah merehatkan wajahnya dari ekspresi itu hanya mendengus.

Mereka menaiki tangga ke atas bersama dalam diam, Gibran mereka ulang apa yang tadi sudah dibahasnya dengan Fathan masalah inovasi dan membuat sketsa dana yang akan masuk ke proposal Duta Divisi.

Yang pertama mereka temui adalah Kak Vano dan Kak Revan, yang tengah berbincang di depan pintu ruang sidang.

Kak Vano melihat mereka duluan, langsung menyungging senyum dan melambai ramah.

"Gibran! Fathan! Lo berdua udah siap-siap?"

Itu yang bertanya Kak Vano, Kak Revan hanya diam memandangi mereka.

"Udah dong, Kak!" Sekali Gibran melirik cukup untuk memberitahu dirinya bahwa mode 'citra angkatan' Fathan keluar secara otomatis.

Membiarkan Fathan membawa alur percakapan, Gibran memperhatikan dua kakak kelasnya itu dengan teliti.

Kalau matamu tidak lihai, kau tidak akan sadar kantung mata mereka yang mati-matian ditutupi make-up. Raut wajah mereka juga tidak secerah biasanya, dan masing-masing kelihatan pucat – terselamatkan BB Cream, palingan.

Tangan Kak Revan yang diam saja agak tremor, dan kedua mata mereka merah.

Entah neraka macam apa yang sudah mereka lalui setelah berita bahwa proposal Duta Sekolah bocor.

Can't relate.

Ini salah mereka sendiri. Dulu ketika Kak Dikov yang bertugas, tak ada yang boleh mengambil proposal – apapun itu – tanpa sepengetahuan Kak Dikov atau Kak Ara.

Selain itu juga, kubik Sekretaris I dikunci rapat (Sebenarnya sih gara-gara foto-foto Anya yang memenuhi kubik tersebut, yang disusun sedemikian rupa macam Shrine pribadi. Dasar siscon.) agar file dan lain-lain masih terjaga.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang