Aleco Putra Pratama di umur dua belas tahun tau tiga hal dalam hidupnya yang menurutnya signifikan; Target visi untuk masa depannya, misi untuk mencapai visi tersebut, dan bagaimana bisa visi itu bisa ia kembangkan semaksimal mungkin bila sudah tercapai.
Ayahnya selalu berekspetasi tinggi pada Ale, dan Ale sendiri mengerti kalau ekspetasi ayahnya padanya tak beralasan.
Ale mampu. Dan tak ada alasan lain baginya untuk tidak mencapai segala kompetensi yang bagi orang lain wajar diraihnya.
Ia tak mengejar pengakuan – ia tak perlu.
Untuk apa?
Ia hanya perlu melakukan apa yang biasanya ia lakukan dalam segala yang pernah ia lakukan, dan mereka yang melihat usahanya akan memberi nilai sempurna bahkan sebelum hasilnya ia raih.
Dan hal yang seperti itu membosankan bagi Ale.
Mereka yang berada di sekitarnya begitu menagung-agungkannya, jujur saja Ale muak dengan itu.
Sepantarannya yang punya talenta, nyaris keseluruhan dari mereka mundur duluan tanpa mencoba jika melihat Ale adalah lawannya.
Mereka bilang berdiri di puncak itu pasti menyenangkan – karena dirimu lebih baik dari yang lain, karena engkau dipercaya sebagai yang paling mampu.
Ale akan membantah semua itu habis-habisan.
Karena memang tidak benar.
Mereka yang seumuran Ale menganggap menarik apa yang tak Ale anggap menarik, mereka yang mengaku kalah dari Ale akan langsung menghindarinya tanpa konfrontasi mengenai kelemahan mereka untuk diasah menjadi pedang yang masih memiliki kemungkinan menebas podium tempat Ale berdiri.
Dan mau percaya tak percaya, rasanya kesepian.
Kesepian karena ia merasa berada di anak tangga yang tak seharusnya ia pijak di usianya.
Ia merasa sendiri karena semakin lama komunikasinya dengan individu lain semakin susah karena pemikiran mereka yang terlalu berbeda drastis.
Ale bisa menyesuaikan, sungguh. Ia cukup terampil dalam merajut persona publik. Hanya saja, kau harus tau kalau itu melelahkan.
Bermain peran anak laki-laki tunggal dari ayahnya yang sempurna, seorang anak yang karismatik dan sopan di mata publik, dan seorang kenalan teman yang baik dan bisa diandalkan di kalangan seumurannya.
Semua itu menguras tenaga dan mentalnya.
Lucunya, orang pertama yang menatapnya tepat di mata justru sepupunya yang dua tahun lebih muda dari Ale.
Ale baru bertemu Karin ketika ia akan masuk ke SMP Siegfried, kala itu Karin baru akan naik ke kelas lima SD.
Ayah Karin, adik dari ayahnya sendiri, baru pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan proyek perumahan raksasa di Amerika.
Karin Advaya Prameswari. Putri bungsu pasangan Wildan Brahmaranu dan Francessca Lafayette yang merupakan siswa Akademi Siegfried dari SD.
Kata-kata Karin tepat setelah perkenalan mereka adalah "Mata Kakak mirip temen Karin"
Aleco yang heran, karena tidak ada angin tidak ada hujan mendadak sepupu dekatnya yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba berkata seperti itu, menautkan alis. "Warna mata kami sama?"
Sungguh, apa ekspetasinya pada bocah yang umurnya masih dua tahun lebih muda dari Aleco sendiri? Masih kelas empat menuju kelas lima waktu itu, sementara Aleco peralihan masuk ke jenjang SMP.
Karin menggeleng, bibirnya mengerucut. Ia tampak harus berpikir sejenak sebelum menjawab Ale.
"Sorot mata Kakak sama kayak dia."

KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionFirst Book from the 'Arcanum' Trilogy, Apriori. . Siegfried International Academy bukan sekolah sembarangan, kata orang lain. Isinya hanya para kaum elit, isinya hanya para jenius dengan latar belakang yang bukan main-main. Di mata kaum awam, yang m...