16 √ Persona

258 35 0
                                    

Jemari Aldy mengetuk-ngetuk lengan kursi putar yang tengah didudukinya, liriknya menatap satu per satu wajah tujuh orang lain yang tengah berada di ruangan luas berkapasitas seratus orang itu.

Kak Ara dengan wajah kalemnya, menyender ke punggung kursinya. Walaupun seluruh bahasa tubuhnya berbicara ia tenang-tenang saja, tatap cokelatnya yang berkecamuk menyangkal pernyataan yang pertama.

Kak Jafar dengan air muka tak berekspresi khasnya beserta tatap acuh tak acuh miliknya, namun kebiasaannya mengetuk-ngetuk ujung kakinya yang berpantofel ke lantai berkarpet ruangan itu berucap lain.

Kak Giovano wajahnya tertekuk, namun selain itu tak ada pertanda lain apapun yang tengah mereka bicarakan ini mengandung unsur yang menarik simpatinya.

Kak Kinara dan Kak Morgan keduanya kelihatan khawatir, tentu dengan pertanda fisik yang berbeda – Kak Kinar yang memainkan bibirnya, dan Kak Morgan yang memainkan jemarinya.

Di kanan dan kiri Aldy sendiri, Fathan dan Gibran beradu tatap dengan satu sama lain sebelum lirik mereka beralih ke gadis yang berada di tengah mereka.

Aldy yang seragamnya salah sendiri – menukar jas biru yang seharusnya ia kenakan hari itu dengan jaket penerbangan berbahan kulit warna cokelat tua – tak menampakkan apa-apa di wajahnya.

Mereka tau, ketukan jarinya hanya ia lakukan untuk mengisi keheningan dalam ruangan itu yang makin meregang.

Lima orang di hadapannya adalah kakak-kakak kelasnya yang merupakan anggota Lima Dewan Kelas Eksekutif.

Dan reaksi masing-masing merupakan penggambaran paling jelas tentang kapabilitas perorangangan mereka.

Aldy tak menyalahkan, sungguh.

"Intinya, Pak Wi clear?"

Kak Askara yang pertama buka suara.

Renaldya mengangguk, membawa kedua tangannya ke atas meja rapat itu dan menautkan jemarinya.

"Clear." Ucapnya seraya menggidik, "But we all know that isn't the problem."

Vano mendecak, wajahnya gerah dengan implikasi pernyataan Aldy. "Intinya itu, udah. Selesai. Rapat antara Lima Dewan sama Tiga Utama yang kali ini cuma ngebahas masalah mereka ancaman apa bukan. Iya, kan?"

Gibran yang maju menghadapi gugatan Kak Vano kali ini, "Kejadian yang satu ini punya implikasi kalau misalnya ada yang ngatur jalannya laju birokrasi yayasan, Kak. Pak Wi enggak tau, oke. Nggak menutup kemungkinan kalau misalnya ada yang tau dan sengaja diem. Masalahnya, angkanya nggak kecil."

Jafar mengangguk. "Iya. Walaupun sumbernya anon, kemungkinan besar ada yang sadar. Pihak pemberi bisa aja secara ga langsung ngatur pilihan mereka 'kan? Yang susah, yang jadi ancaman, yang bakal bikin jam tidur kita surut ya itu."

Giovano masih menyangkal, "Kalau kayak gitu, ya mana kita tau siapa yang sadar siapa yang enggak – jumlah uang yang ditambah ngalir berdasarkan transaksi mereka, kan?"

Aldy mendelik tajam padanya, tidak terima. "Kakak pikir selama gue diskors kami nggak ada yang kerja? Sorry, tapi pelaksanaan kami nggak statis. Lo Lima Dewan, sekarang tiga besar. Dewasa dikit sama mereka yang ada dibawah jurisdiksi lo. Kepercayaan lo sama bawahan mana, ha?"

Fathan yang berada di kanannya menghela nafas berat, memijat pelipisnya.

Gibran di kirinya memutar bola mata, mendengus geli.

Vano?

Giovano melotot padanya, tapi ia diam.

Tentu saja ia diam. Jika birokrasi yayasan ada di tangan pihak ketiga, kelangsungan Kelas Eksekutif perlu dipertanyakan bila Kelas Eksekutif tidak disukai maupun tidak sesuai dengan kepentingan pihak ketiga tersebut.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang