BAB I: THE HEIRS

565 28 6
                                    

Langit malam bertabur bintang yang dilengkapi cahaya remang purnama menyelimuti cakrawala kota Tokyo. Malam itu, sebuah pagelaran mewah dilaksanakan. Perusahaan Sano Entertainment, industri yang fokus di bidang film dan entertain melangsungkan hari jadi mereka yang ke-20.

Industri raksasa yang dipegang oleh Keluarga Sano tersebut sukses menyita banyak perhatian sebab karya-karyanya yang fantastis dan laku keras di pasaran.

Semua orang dari kalangan berada, termasuk artis dan pengusaha papan atas hingga pejabat negara diundang. Memang, seluas itulah relasi yang mereka miliki. Tak heran banyak orang mengincar posisi teratas di dalam Kerajaan Sano.

Suara dentingan tuts piano menggema ke seluruh aula pagelaran. Semua mata pun tertuju padanya, seorang gadis manis bersurai pirang. Dia lah sosok paling berbakat nan anggun di ruangan itu. Kepiawaannya dalam dunia seni musik tak perlu diragukan lagi.

Sano Emma adalah salah satu harta berharga milik Keluarga Sano.

Tepuk tangan bergemuruh begitu nada terakhir selesai berdenting. Emma bangkit dari kursinya lalu membungkuk ke hadapan penonton.

"Uhuk! Selamat malam kepada hadirin terhormat di aula ini." Kakek Sano-presiden direktur Sano Entertainment-berdiri di panggung. Ia merangkul bahu cucunya dengan sayang. "Pada kesempatan kali ini saya selaku presiden direktur Sano Entertainment akan mengumumkan hak waris yang nantinya akan diembankan kepada salah satu cucu saya."

Ruangan seketika hening. Masing-masing dari yang hadir bersiap memikirkan berjuta skenario untuk membidik mangsa agar kelak memiliki kedudukan di dalam Kerajaan Sano dan meraup hartanya.

"Seperti yang kita semua tahu, keluarga kami telah mendirikan tiga cabang perusahaan. Perusahaan cabang pertama telah dipegang oleh Sano Shinichiro. Perusahaan kedua telah diwariskan untuk Sano Manjirou."

Suasana making tegang.

"Sedangkan perusahaan cabang ketiga masih dikelola langsung oleh saya dan belum menemukan pewarisnya."

Jantung Emma berdebar-debar, keringat dingin pun membanjiri seluruh telapak tangannya. Ia sudah lama menantikan ini. Gadis itu percaya kalau kakeknya akan menyerahkan perusahaan cabang ketiga ke tangannya.

Emma bahkan sudah berlatih public speaking. Ia pun telah menyiapkan naskah pidato untuk disampaikannya pada malam ini. Oleh karena itu, dia sengaja berdandan cantik dan menaruh banyak effort pada tiap bait nada yang dimainkannya.

"Emma." Tiba-tiba Kakek Sano menyerahkan sebuah amplop berwarna silver, membuyarkan lamunan Emma. "Silakan dibaca nama pewaris perusahaan selanjutnya."

Emma tersenyum. Dia makin yakin kesempatan itu akan jadi miliknya. Maka dibukanya amplop dengan ukiran daun anggur itu perlahan. Suasana pun jadi makin tegang. Terlebih ketika kelopak mata gadis itu membelalak sempurna.

Bibir Emma mendadak terasa kaku. Ia merasa ingin hilang dari muka bumi begitu terasa ada sesuatu yang roboh di dalam diri.

"Emma?" Kakek Sano heran karena cucunya hanya diam.

"P-pewaris perusahaan cabang ketiga ... diserahkan kepada cucu keluarga yang paling berbakat. Dia yang anggun, memiliki banyak potensi dan selalu membuat publik bertepuk tangan atas prestasinya di bidang akademik."

Napas Emma semakin berat. Ia tidak sanggup melanjutkan, tapi saat ini semua mata memandang.

"Selamat kepada, Sano Ayaka."

Gadis yang dipanggil langsung membelalakan mata, kaget. Di tengah tepuk tangan hadirin, ia hanya bisa celingukan. Ayaka, atau yang biasa disapa Eve menatap ketiga saudara lelakinya bergantian-Shinchiro, Mikey dan Izana-dengan pandangan bingung.

"Maju sana, jagoan. Wlee!" Mikey menjulurkan lidahnya sambil mendorong punggung Eve.

"Hush, Mikey, kamu tidak sopan. Ini acara formal," tegur Shinichiro yang langsung mendapat kekehan garing dari Mikey.

Eve pun maju dengan perasaan tidak enak. Dia merasa tidak pantas diemban amanah seperti ini. Terlebih, ia sama sekali tidak memiliki darah Sano.

Emma memasang senyuman palsu sambil memberi selamat kepada Eve. Gadis itu merasa sakit. Bisa-bisanya posisi sepenting ini, malah diserahkan kepada Eve yang notabenenya adalah orang asing. Kenapa kakek tidak memilihnya? Apa sebenarnya kekurangan Emma?

Dan yang terpenting ... apa selama ini dirinya dianggap cucu? Rasanya Emma ingin mati saja.

"Emma, terima kasih karena selama ini kau selalu mendukungku."

Eve tersenyum lebar di akhir sambutannya. Dan hal itu, malah membuat hati Emma bertambah perih.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang