Bab 9

30.6K 1.9K 29
                                    

Rere menggeram kesal. Ia melempar kertas-kertas jurnal dan kerangka penelitiannya ke udara. Kertas-kertas tersebut berterbangan dengan dramatis di seisi kamarnya. Rere lalu memijat keningnya mencoba untuk mengendurkan otot tegang di kepalanya.

"Fuck skripsi, gue mau cari om-om aja!" seru Rere menguncang keyboard PCnya. Lalu ia bersandar di kursi sambil menghela napas. "Enak kali ya kalau punya om-om kayak Queena... Kalau gue jadi dia, gue bakal sewa joki buat ngerjain semua ini."

Di kepalanya langsung muncul bayangan wajah genit laki-laki paruh baya berperut buncit dan berbau rokok seperti yang bersama Queena waktu itu. Tubuhnya merinding seketika. Ia tidak bisa membayangkan dirinya bermanja-manja dengan laki-laki macam itu. Om-om yang dia maksud itu yang meski berumur tetap terlihat gagah, tubuh proporsional, dan yang pasti bukan suami orang.

Seperti laki-laki di novel, seperti Hansen? Benak Rere bertanya pada dirinya sendiri. Tanpa sadar Rere setuju. Dilihat dari segi manapun Hansen memang tampan. Tampak otot-otot yang terbentuk sempurna terkadang mengintip dari balik kemeja slim fitnya. Tapi tidak, Rere tidak akan segila itu mencoba mengencani dosennya sendiri.

Memikirkan Hansen juga membuatnya jadi teringat akan tugas akhir. Dia tidak menyalahkan Hansen sepenuhnya sebab Jose juga terlibat dalam memperumit tugas akhirnya. Dia yang menyarankan Rere untuk mengganti judul. Gara-gara dia Rere harus merombak rancangan penelitiannya.

"Gue nggak peduli mau judul biasa kek, luar biasa kek, yang penting gue lulus! Gue cuma mau lulus! Culun sialan!" Rere merengek sambil meninju-ninju udara. Lelah berkelahi dengan udara barulah ia memunguti kertas-kertas yang ia hambur tadi satu persatu.

Rere baru selesai mengumpulkan kertas itu ketika bel pintunya berbunyi. Rere tidak langsung keluar. Tidak langsung membuka pintu merupakan peraturan utama saat tinggal sendirian di rumah. Apalagi di jam malam seperti ini. Rere menerka-nerka siapa yang berada di balik pintu. Nadia tidak akan repot-repot memencet bel. Dia tahu kode kunci rumah Rere. Tidak ada orang lain selain Nadia yang tahu nomor apartemennya.

Rere pun berjalan tanpa suara mendekati interkom. Tampak seorang laki-laki mencurigakan dengan pakaian serba hitam dan topi baseball yang menutupi sebagian wajahnya sehingga tidak terlihat jelas. Dada Rere mendadak sesak. Bulu romanya merinding. Terlebih laki-laki itu memegang sebuah kotak yang tidak kalah mencurigakannya.

Tak lama bel pintunya kembali berbunyi. Rere justru menjauh dari pintu. Dia tidak akan membuka pintu apapun yang terjadi. Merasa tidak ada jawaban laki-laki itu memencet bel dengan lebih agresif. Rere masih kukuh dengan pendiriannya untuk berpura-pura tidak ada di rumah.

Merasa tidak mendengar suara bel lagi, Rere mencoba mengintip interkom. Dia berharap laki-laki itu sudah pergi. Namun nyatanya laki-laki itu masih berdiri di sana. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Rere segera meraih ponselnya juga. Dengan tangan gemetar ia mencoba menelpon seseorang yang mungkin bisa menolongnya.

"Woah!" Rere terlonjak ketika ponselnya berdering. Nomor Jose tertera di layar. Ia sempat ragu. Di antara semua orang kenapa mesti Jose yang muncul. Di keadaan genting seperti ini Rere tidak bisa memilih. Ia langsung menekan tombol hijau di layar.

"Tolongin gue!"

"Aku di depan pintu unit."

Ucapan mereka terucap bersamaan. Keduanya sama-sama menatap ke arah interkom. Secara tidak langsung saling bertatapan. Rere pun akhirnya menyadari bahwa laki-laki mencurigakan tersebut adalah Jose.

Rere pun membuka pintu sambil bernapas lega. "Gue kira tadi penjahat," ucapnya.

Jose menurunkan ponselnya dan mendelik sebal. Ia menyodorkan kotak dus berukuran kecil kepada Rere. "Paket nyasar," katanya singkat. Rere membulatkan bibirnya. Ia mengambil paket itu dan berterima kasih sebagai formalitas.

Chillin' Buddy [🔞21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang