I.

2.6K 90 17
                                    

Di malam yang dingin dan sepi, Choi Mujin menikmati hisapan rokok segarnya yang baru dinyalakan. Ia memasukkan pemantik api berwarna emas miliknya ke dalam sakunya. Jung Taeju, anak buahnya sekaligus tangan kanannya, di belakang sedang sibuk mengakhiri nyawa seorang teman-berakhir-musuh dari Mujin. Suara pria yang tersekap dan semakin lemah setiap detiknya mengisi keheningan di telinga kedua pria itu.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Mujin, yang langsung ia baca dan balas. Sekongkolan orang yang mengkhianatinya telah berhasil dibunuh oleh anak buahnya. Seutas senyum menghias wajah tampan Mujin. Pria berusia 46 tahun dan memiliki aura yang menyeramkan sekaligus menawan. Akhirnya, malam ini berakhir persis seperti harapannya. Mujin selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, sebagai bandar narkoba nomor satu di Korea Selatan.

Mujin memicingkan matanya, melihat pemandangan yang cukup jauh di ujung jalan. Sepasang kekasih sedang berkelahi. Mereka keluar dari sebuah tempat yang terlihat seperti pub kecil—kedua tubuh itu saling mendorong. Pria tinggi itu meletakkan tangannya di leher kecil kekasihnya, yang tidak lama disusul oleh tamparan pedas dari gadis itu, yang membuat Mujin cukup terkejut.

Kekasihnya itu kaget dibuatnya. Ia menunjuk-nunjuk wajah cantik gadis itu dengan telunjuknya dan terlihat seperti sedang mengancam. Entah kenapa Mujin membuang waktunya untuk memperhatikannya. Tapi wanita itu terlihat sangat menyedihkan, seperti ia telah kehilangan separuh nyawanya malam itu. Perkelahian antara pasangan itu berujung dengan gadis itu menarik baju pria saat dia berputar untuk meninggalkannya, dan tangan kecil itu sekali lagi mendarat di pipi pria itu. Sayup-sayup Mujin bisa mendengar suara gadis itu, yang berarti ia berteriak dengan sangat kencang.

"Ga!!!" —"Pergi!!!"

Gadis itu berdiri sendirian di tengah kegelapan, menangis tersedu-sedu. Mujin memiringkan kepalanya untuk bisa tetap melihat gadis itu, menyaratkan tatapan terakhirnya sebelum akhirnya kembali masuk ke mobil.

Taeju menutup bagasi dengan kencang, di dalamnya berisi jasad pria yang tadi disekapnya. Lalu, Taeju membukakan pintu untuk Mujin. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Suasana malam itu bertambah dingin dan mencekam. Seperti tidak ada hal baik yang terjadi di tempat itu malam itu.

"Aku akan mengurusnya, Pak," kata Taeju.

"Baiklah. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

"Nde."

"Kerja bagus, Taeju-ya."

Nafas Taeju masih tersengal-sengal, Mujin membiarkannya agar tenang terlebih dahulu sebelum mereka jalan.

"Lewati jalan itu," perintah Mujin, menunjuk ke arah dimana gadis itu masih berada.

"Ye."

Dengan jarak sekitar 50 meter, sebuah mobil melaju di depan mobil Mujin dengan pelan namun berbelok-belok. Sepertinya pengendara di depannya ini mabuk. Mujin mengernyitkan alisnya. Taeju menekan klaksonnya, tapi malah membuat pengendara ini menginjak gasnya dengan kencang seolah kaget. Benar, mereka berdua yakin si pengemudi ini sedang mabuk.

Bugh!

Bunyi itu membuat Mujin sadar dari lamunannya dan langsung mencari sumber suara itu. Mobil pemabuk tadi sudah meluncur jauh akibat kesalahan yang dibuatnya.

"Aish," gerutu Taeju.

Mujin melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Gadis tadi terjatuh di tengah jalan, memegangi bahunya. Ia tidak bisa membedakan, apakah tangis itu akibat rasa sakitnya karena diserempet mobil, atau karena kejadian menyakitkannya dengan kekasih—mantan kekasihnya.

"Berhenti," perintah Mujin.

Taeju memahami keinginan bosnya, dan memperlambat laju mobilnya untuk berhenti di pinggir jalan.

Mujin keluar dari mobil dan menghampiri gadis itu. Ia terlihat lebih cantik saat Mujin melihatnya dari dekat. Usianya masih tergolong muda, tapi ia bukan anak-anak. Rambutnya berwarna cokelat, panjang, beberapa helai poni tanggung menghiasi dahinya. Kulit tulang pipinya berdarah dan memar. Darah juga mengalir dan menembus pakaian yang menutupi siku salah satu tangannya.

"Gwaenchana?"

Dengan kedua tangannya di sakunya, Mujin bertanya kepada gadis itu. Tidak ada pengendara lagi di jalan itu. Ini sudah pukul 2 tengah malam.

"Y-ye."

Mujin mengeluarkan tangan kanannya dan menawarkannya untuk dipegang gadis itu.

"Ireona. Berbahaya berada di jalan walaupun sepi."

Gadis itu mengambil tangan Mujin dan bangun. Dengan tenaganya yang masih banyak, Mujin membantunya berdiri.

Mereka berdua berdiri di trotoar, persis di tempat dimana gadis itu tadi beradu mulut dengan kekasihnya. Mujin menyalakan sebatang rokok lagi, dan menatap gadis yang kaku di depannya itu. Gadis itu juga tidak tahu harus berbuat apa kepada Mujin.

Mujin menawarkan sapu tangan bersih yang selalu dibawanya kemanapun.

"Ambillah," kata Mujin.

"Ne..."

"Kau tidak baik-baik saja. Wajahmu dan tanganmu berdarah."

"Apa?"

Ia menyadari pipinya yang perih karena luka, tapi ia tidak sadar kalau tangannya juga terluka.

"Aish! Pemabuk brengsek," umpat gadis itu diam-diam. "Jika ingin menabrakku, setidaknya jangan tanggung-tanggung."

Salah satu bibir Mujin sedikit terangkat mendengarnya.

"Kau tinggal dimana?"

Gadis itu malah menundukkan kepalanya dan berpura-pura tidak mendengar.

"Emm... Terimakasih, sudah membantuku. Aku—"

"Aku bertanya dimana kamu tinggal."

"Ani—aku sebenarnya tidak mempunyai tujuan pulang. Aku tinggal bersama mantan pacarku, dan kami baru saja putus."

"Hmm."

Mujin menghembuskan asap rokoknya yang tebal. Gadis di hadapannya terluka malam ini, dan terlihat seperti tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidupnya. Mungkin gadis itu tidak akan peduli dan tidak akan meminta bantuan jika tadi ia tertabrak dengan kencang dan akhirnya kehabisan darah di tengah jalan itu. Mujin menjadi sedikit kalut.

"Sial. Maaf, aku tidak bermaksud mengatakannya seolah aku mengeluh kepadamu."

"Tidak apa-apa."

Mujin memutar badannya untuk melihat mobilnya. Ia berpikir, setelah mengakhiri beberapa nyawa malam ini, tidak ada salahnya jika ia mencegah seseorang agar tidak membahayakan nyawanya sendiri.

"Ikutlah denganku malam ini. Kau perlu menghentikan darah dari lukamu itu dan mengobatinya."

"Nde?"

"Kau mendengarku."

Gadis itu menggigit bibirnya dan berpikir. Siapa pria ini? Ia bahkan tidak tahu namanya. Tapi, sepertinya ia tidak memiliki hal lain yang mungkin akan direnggut darinya malam ini. Tidak ada rasa takut yang tersisa di hatinya malam ini. Ia juga tidak punya tempat tujuan yang lebih baik. Lagipula, pria paruh baya di depannya ini terlihat seperti bukan seorang penculik yang nantinya akan menyandera dirinya demi uang jutaan won. Ia kelihatannya sangat kaya, dan melakukan ini untuknya bukan karena suatu hal khusus.

Mujin berputar dan berhenti, menunggu gadis itu mengisi kekosongan di sisinya. Ekor matanya akhirnya menemukan bayangan gadis itu berdiri di sampingnya. Mujin tersenyum.

•••

A.N.
Hi! Cerita ini tentang Choi Mujin dan seorang gadis yang berumur sekitar 28 tahun yang bukan karakter dari drama My Name. Cerita ini nantinya akan berisi konten dewasa dan karakternya memiliki kecenderungan mental yang tidak sehat (meskipun akan ada romance-nya juga) dan mungkin akan mengganggu sebagian pembaca, jadi saya akan memberitahu dari sini. Jika tidak nyaman, tidak perlu melanjutkan dan membaca ☺️🙏🏻 Terimakasih!

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang