XVII. 🔞

826 56 11
                                    

Jiho membuka matanya perlahan di pagi hari setelah mendengar suara pintu yang terbuka. Pandangannya masih buram, dan ia memegangi kepalanya yang terasa agak berat. Ia ingat betul kalau ia tidak mabuk berat semalam, dan menerka-nerka tanpa ujung penyebab sakit kepalanya yang tidak ia temukan jawabannya.

Sayup-sayup Jiho mendengar langkah kaki bersepatu mendekatinya. Ia mengintip ke bawah selimutnya.

Aku bugil? Oh Tuhan.

Kali ini dia sudah tidak lagi berpikir aneh atau terkejut bangun di kamar Mujin. Jiho masih ingat semalam ia makan malam romantis bersama Mujin.

Sosok tinggi dan kekar itu berjalan mendekatinya ke tempat tidur. Ia berdiri dengan posisi badan yang tegak dan salah satu kakinya tertekuk santai, menggunakan celana bahan yang sudah di press dengan rapi dan kemeja putih yang kerahnya terangkat.

Mari kita jujur saja. Aku belum pernah melihat pria setampan dia.

Jiho secara tidak sadar sedikit membungkuk kepada Mujin. Tidak tahu mengapa, apakah keberadaan pria itu terlalu mengintimidasinya? Jiho memejamkan paksa matanya karena menyadari kebodohannya dan membuat Mujin terkekeh.

"Berhenti memperlakukan kekasihmu seperti atasanmu," ujar Mujin dengan senyum yang manis, sambil mengancingi tangan kemejanya.

Baiklah. Aku memang..... Aku lemah sekali.

"Mianhaeyo," Jiho menekan kedua bibirnya, mencoba sedikit tersenyum.

"Aku kemari untuk mengecek kondisimu. Kamu baik-baik saja?"

"Ehm... Kepalaku sedikit pusing, tapi diluar itu, aku baik-baik saja. Apa yang terjadi semalam?"

Mujin memiringkan kepalanya dan mengangkat satu alisnya, berpikir sejenak. Ekspresinya seperti mengetahui sesuatu yang Jiho tidak tahu, tapi ia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.

"Kamu hanya meminum tequila. Itu saja," jawab Mujin dengan senyum licik. "Kamu belum pernah meminumnya?"

"Belum. Mungkin itu mengapa aku pusing. Lalu, kita... ehmm... kamu tahu..."

"Of course. It was an amazing sex."

Mujin mengulurkan tangannya kepada Jiho. Jiho menatapnya dengan malu. Tangan Mujin yang besar, yang menjamah setiap inci tubuhnya kemarin malam.

"Come on."

"Mau kemana?"

"Pilihkan dasi untukku."

"Mujin-ah, aku tidak pakai baju."

"Sejak ada kamu, aku tidak lagi mengizinkan pelayan pria di dalam penthouseku. Ayo."

Jiho memberikan tangannya kepada Mujin, dan Mujin menggandengnya ke ruangan lebih kecil yang berada persis di sebelah kamarnya. Jiho merasa malu berdiri di sebelah Mujin dalam keadaan telanjang, sementara Mujin sudah berpakaian lengkap dan rapi. Mujin hanya meliriknya dan tersenyum nakal.

"Pilih satu," perintah Mujin, setelah membuka laci kaca yang berisi puluhan helai dasi.

"Hmm..."

Bagaimana Jiho bisa langsung memilih? Banyak sekali dasi di dalamnya. Tiga puluh? Mungkin lebih. Ia memperhatikannya satu per satu, dan melihat warna celana dan sepatu Mujin.

"Jasmu warnanya sama dengan celanamu?" tanya Jiho.

"Hmm," angguk Mujin.

Hitam charcoal, sepertinya cocok dengan warna biru. Pilihan Jiho jatuh pada dasi berwarna biru bercorak minimalis. Ia mengambilnya dan menyerahkannya kepada Mujin.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang