XXXVI.

445 98 23
                                    

Jiho menarik kedua tangannya yang dipegang oleh dua pria itu.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Wonshik, khawatir.

Jiho menepis tangan Wonshik yang berusaha memegang tangannya sekali lagi. Ia menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan, mencoba tenang. Jiho sangat kesal tapi ia tidak yakin apa penyebabnya. Sementara itu Mujin tidak mempedulikan keberadaan Wonshik sama sekali, bahkan tidak memandangnya dan menganggap pria itu ada.

"Tolong tinggalkan aku sendiri. Kalian berdua. Jebal."

Jiho menunggu mereka pergi, tapi kedua pria itu sama sekali tidak bergerak. Jiho tidak memandang Mujin. Ia hanya mengangguk sekali, berpamitan kepada Wonshik. Ia tersenyum kecil, senyum yang terpaksa, lalu berkata.

"Kau tidak perlu mengantarku, aku akan pulang sendiri."

"Kau yakin? Bagaimana dengan pria itu? Apa dia—"

"Aku akan pergi. Terimakasih atas malam ini."

Dengan begitu Jiho meninggalkan tempat itu. Langkah kaki Mujin mengikutinya. Ia tidak ingin melihat kebelakang.

"Jiho..."

"Tinggalkan aku, Mujin-ah."

"Tidak akan."

Gadis itu mempercepat langkahnya. Air mata mulai mengalir di pipinya. Jiho tidak tahu kemana ia melangkah, ia tidak peduli kemana kedua kakinya akan membawanya. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan Mujin. Dadanya terasa sesak, hatinya sakit melihat Mujin seperti ini. Jiho hanya ingin Mujin bahagia bersama orang lain. Karena ia takut akan meninggalkan Mujin lagi seperti dulu, dan menyakiti hati pria itu lagi.

"Lee Jiho, pulanglah bersamaku," ujar Mujin dengan suara yang lantang karena Jiho sudah cukup jauh berada di depannya.

Jiho menyeka air matanya yang tidak berhenti turun dan membuat pandangannya kabur. Langkahnya semakin pelan, Mujin berlari menyusulnya.

"Jiho-ya...," Mujin memegang lengan Jiho.

"Mujin, tolong hentikan ini. Aku... t-tidak ingin melihatmu. Jebalyo...," ujar Jiho, terisak.

Mujin melepas tangan Jiho dan memeluknya. Dengan tenaganya yang tersisa, Jiho memukul dada Mujin, tapi Jiho tidak sanggup melawan Mujin.

"Maafkan aku."

"Andwae! Berhenti, Mujin-ah...," tangisan Jiho semakin kencang. "Mujin, tinggalkan aku. Kumohon, aku tidak sanggup lagi. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi."

Pelukan Mujin semakin erat. Ia tidak mendengarkan apapun yang keluar dari mulut Jiho. Memeluk gadis itu seperti ini saja sudah terasa seperti kembali ke 'rumah'-nya. Sementara Jiho, hati kecilnya merasa bahagia bisa merasakan hangat dan wanginya tubuh Mujin lagi.

"Kamu lelah? Ayo kita pulang."

"Mujin... Aku akan pulang sendiri," Jiho berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Mujin dan akhirnya berhasil.

"Aku akan tetap mengantarmu."

"Terserah kamu saja."

Jiho berjalan meninggalkan Mujin di belakangnya. Ia mencari halte bus terdekat, menunggu selama beberapa menit dan ia melihat sekitar, Mujin tidak terlihat.

Syukurlah.

Jiho akhirnya bisa menangis dengan puas sendirian sampai kepalanya terasa sangat berat. Jiho tidak menyangka ia akan merasa sesedih ini berbicara dengan Mujin lagi. Ia mengira ia sudah bisa merelakan Mujin dan tidak lagi merasa hancur ketika bertemu Mujin. Ia pikir reaksinya akan biasa saja. Mungkin jantungnya akan berdebar kencang, tapi tidak lebih dari itu. Nyatanya Jiho masih sangat lemah saat menghadapi pria itu. Jiho mengeratkan jaket yang menutupi tubuhnya. Cuaca yang dingin menjadikan tubuhnya semakin menggigil.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang