XXXV.

402 89 29
                                    

"Jiho-ssi!"

"Eh? Nde?"

Si Yeon menghela nafasnya.

"Ada apa denganmu? Aku harus memanggilmu empat kali baru kau menyahut?"

"Mianhae, a-aku... aku sedang memikirkan... hal... lain."

Rekan kerjanya itu menggelengkan kepalanya.

"Aku baru saja mendapat telepon dari bos, dia meminta kita berkumpul sebentar. Ada yang perlu dibicarakan."

Jiho masih melamun.

"Ya! Jiho!" Si Yeon menepuk-nepuk pipi Jiho yang pandangannya kosong itu. "Ayo, kita berkumpul sekarang. Apa kamu habis melihat hantu," omel Si Yeon.

Jiho menutup mukanya yang merah dan merasa sangat malu tertangkap bengong dua kali hanya dalam selang waktu beberapa detik.

Sampai akhir jam kerjanya, Jiho sulit sekali fokus. Ia terus memikirkan, apakah ia akan lebih sering melihat Mujin? Bagaimana dengan profesi gelapnya? Apakah dia akan baik-baik saja terekspos publik seperti itu? Apakah muncul di publik terus menerus seperti itu akan membahayakan untuknya di satu waktu nanti? Jiho tidak pernah berhenti mengkhawatirkan Mujin walaupun sudah berpisah, dan meskipun pria itu sudah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja, dan ia pasti selalu bisa mencari jalan keluar karena banyaknya orang yang mengorbankan diri mereka untuknya.

Mujin harus meninggalkan kantor jam 6 sore karena ada urusan lain. Dengan gelisah selama satu jam ia terus berjalan mondar-mandir di lobby sambil mengintip jam tangannya, mana tahu ia bisa bertemu Jiho lagi, atau mungkin saja gadisnya itu akan pulang tepat waktu hari ini. Tapi ternyata tidak ada hasil. Mujin mendengus kesal dan akhirnya ia memutuskan untuk pergi karena ia sudah tidak bisa lagi merelakan waktunya.

Berbanding terbalik dengan Mujin, Jiho menghindari bertemu Mujin. Gadis polos itu mungkin tidak akan sanggup menahan dirinya untuk memeluk tubuh besar itu jika harus bertemu lagi. Ia tidak sempat memeluk Mujin beberapa hari sebelum mereka berpisah, dan meninggalkan pria itu adalah keputusannya. Betapa Jiho merindukan wangi tubuh Mujin, dan bagaimana pria itu meletakkan dagunya di atas kepalanya saat mereka berpelukan. Jiho tidak ingin kembali bersama Mujin. Ia merasa tidak pantas bersama Mujin—hal yang dirasakannya sejak awal bertemu dengan pria itu, dan ia berpikir di luar sana ada wanita yang lebih layak dan lebih sanggup menghadapi Mujin daripada dirinya. Ia hanya wanita lemah yang tidak berpengalaman dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi pria seperti Mujin.

Tepat satu menit setelah mobil Mujin meninggalkan gedung, Jiho keluar dari lift.

"Kau akan langsung pulang?" tanya teman Jiho.

"Hmm," gadis cantik itu mengangguk. "Tidak ada kegiatan yang lebih menyenangkan selain tidur."

"Ah, arasseo. Aku sudah dijemput pacarku, aku duluan ya. Hati-hati, Jiho-ssi."

"Oh, selamat bersenang-senang. Hati-hati Kyung Hee."

Jiho memaksakan senyum di wajahnya.

Tidak apa-apa. Melajang itu juga sangat menyenangkan. Jiho menjinjing tasnya dan bergegas pergi ke halte bus.

•••

Sudah beberapa hari ini Jiho merasa aneh sekali. Semua pekerjaannya terasa sangat mulus dan mudah, bisa dibilang hampir tidak ada tekanan atau penolakan dari semua pihak. Dengan begitu, Jiho bisa pulang lebih cepat dan merasa lebih mudah tersenyum daripada biasanya. Hari-hari Jiho terasa lebih menyenangkan akhir-akhir ini.

Jiho berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya di teamnya yang lama, di kafetaria menjelang jam pulang kantor untuk bersantai.

"Jiho-ya, apa yang kamu pikirkan?" tanya Myung Seo.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang