XLIII.

610 144 25
                                    

Jiho sedang mengetik balasan pesan di ponselnya untuk seorang temannya, menekan tombol kirim, mengetik lagi, dan mengirimnya lagi. Tiba-tiba ponselnya lenyap dari tangannya, diambil oleh seseorang yang paling sering mengerjainya, pacarnya sendiri. Ia memutar badannya untuk menghadap Mujin yang sedang mengangkat ponselnya di atas kepalanya setinggi mungkin.

"Ya! Mujin-ah, berikan padaku."

"No," balas Mujin tegas.

Pria itu meninggalkan Jiho dan membaca pembicaraan Jiho dan temannya.

"Kamu sedang berbicara dengan teman laki-lakimu?"

"Dia sedang bertanya tentang kabar seorang teman, dan bertanya kepadaku nomor kontaknya karena ingin bertemu dengannya."

"Hmm," Mujin mencoba membaca lagi pembicaraan itu. "Bertemu dengan temanmu, atau bertemu denganmu? Tetap tidak boleh. Kamu tidak pernah tahu apa niat seorang pria kepadamu. Blokir nomornya."

Mujin menyerahkan ponsel itu kembali kepada Jiho.

"Mujin, tidak bisa begitu. Kenapa kamu tidak bisa mengerti bahwa tidak semua pria berniat mendekatiku?"

"Aku atau kamu yang akan memblokir?"

Jiho mendecakkan lidahnya kesal.

"Jangan melawanku Lee Jiho. Dari semua teman priamu yang kularang bertemu denganmu, semuanya memiliki niat untuk mendekatimu. Aku tidak akan memberikan kesempatan itu. Aku lebih mempercayai firasatku daripada kamu."

Dengan pasrah Jiho menurut. Bagaimanapun, Mujin benar. Jika hanya ingin berteman biasa, seorang pria tidak akan sering menghubungi Jiho, dan selalu mencari topik untuk dibicarakan. Jiho hanya tidak ingin dianggap sombong dan tidak mau berteman. Jiho menujukkan kepada Mujin bahwa ia sudah memblokir kontak pria itu.

"Sudah."

"Bagus. Jangan mencoba mengakaliku, Jiho, aku bisa membaca semua gerakanmu."

Jiho menarik tangan Mujin yang sedang berdiri di hadapannya.

"Kamu cemburu?"

Mujin mendengus dan tersenyum kecil.

"Aku selalu mengakuinya, tidak sepertimu. Bagaimana perasaanmu kalau ada wanita yang mendekatiku? Apa reaksimu?"

Membayangkannya saja Jiho jadi sangat kesal. Ia menelan ludahnya dan merasa wajahnya menjadi panas.

"Tidak tahu! Mungkin aku akan menariknya, dan melemparnya tengah jalan."

"Dengar? Kamu sama persis denganku. Tidak ada bedanya."

"Apa banyak yang mendekatimu?"

"Aku tidak ingin membuatmu kesal."

"Mujin-ah!"

"Kenapa jadi aku? Aku tidak pernah merespon sepertimu," jawab Mujin, lalu ia merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. "Lihat sendiri."

Jantung Jiho seperti ingin terlepas dari tulang rusuknya. Mujin tidak pernah melarang Jiho melihat isi ponselnya, dan ia tahu sandinya adalah inisial namanya digabung dengan tahun kelahirannya. Ini adalah pertama kalinya Jiho melihat isi ponsel Mujin.

1991LJH.

Terbuka.

Apa yang harus kulihat? Pesan? Aplikasi tukar pesan? Galeri. Ya Tuhan, apa lebih baik aku tidak usah melihatnya? Aku bisa mati hanya karena jantungku berdebar terlalu kencang.

Jiho menggigit bibirnya, gugup melihat nama-nama pengirim pesan di ponsel Mujin. Beberapa wanita, tidak hanya satu atau dua, mungkin lebih dari lima, tapi yang jelas lebih banyak nama pria rekan bisnis dan organisasinya. Mujin tidak menghapus apapun, semua pesan terlihat dari tiga tahun yang lalu. Wanita-wanita memulai pembicaraan duluan, sekali dua kali Mujin merespon, jika sudah mulai mengarah dan mencurigakan, Mujin berhenti membalas. Nampak tulisan 'Anda telah memblokir kontak ini'. Dahi dan alis Jiho mulai berkerut, ia menarik nafas panjang membaca pesan-pesan yang membuatnya kesal. Sementara Mujin hanya duduk di sebelahnya sambil menyalakan rokok dan menuangkan segelas whiskey, seperti tidak merasakan apapun.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang