XXXIV.

393 96 34
                                    

Dua bulan lalu...

Mujin berdiri di depan sebuah gedung kecil yang terdiri dari lima lantai. Sebuah tumbler berisi kopi di tangan kanannya. Ini sudah jam 1.30 pagi, jalanan sangat sepi. Mata Mujin masih terbuka lebar. Karena jam tidurnya yang berantakan, Mujin hari ini baru tertidur jam 5 sore, dan bangun jam 11 malam. Pikirannya berantakan, dan ia merindukan Lee Jiho. Sudah satu bulan lamanya mereka berpisah.

Octagon Building, tempat yang kecil dan redup. Mujin tahu Jiho ada di dalamnya. Apartemen nomor 24 di lantai 4, lebih tepatnya. Lampu di kamar itu masih menyala, tidak terang seperti lampu ruangan pada umumnya. Mungkin hanya lampu meja yang menyala.

Sedang apa, sayang?

Mujin tidak meninggalkan tempat itu, sampai sekitar jam 4 pagi, akhirnya lampu itu mati. Setelah itu Mujin masuk ke dalam mobilnya dan melamun. Kepalanya pusing tapi ia tidak bisa tidur. Ia membuka dashboard mobilnya untuk mengambil sebuah obat yang lalu diminumnya dengan air putih.

Tidak disadari ternyata obat itu langsung bekerja dan Mujin membuka matanya saat langit sudah terang. Suara anak-anak sekolah yang berjalan di trotoar membangunkannya.

Sakit kepalaku sedikit berkurang, aku mungkin akan terlambat. Persetan. Jam berapa ini? Jam 9? Jiho sudah berangkat?

Beruntung ia memarkir mobilnya cukup jauh dari gedung tersebut, jadi tidak terlalu mencolok. Mujin membuka tumblernya dan menghabiskan sisa kopinya yang sudah dingin.

Ia kembali memandangi gedung apartemen Jiho, dan senyum kecil yang pahit merekah di wajahnya.

"Aku harus pulang, Jiho. Tapi.. aku akan kembali lagi," ujarnya sambil memakai sabuk pengaman.

Mujin meletakkan tumblernya dan menyalakan mobilnya. Ia memakai kacamata hitamnya, lalu mulai membelokkan stir mobilnya dan menginjak pedal gas.

Mobil Mujin melewati pintu lobi gedung itu, dan seperti takdir, ia melihat Lee Jiho baru saja keluar. Gadis itu akan menyeberang, dan ia memiliki feeling yang aneh saat sebuah mobil Mercedes Benz hitam yang sangat familiar mendekat. Jiho melihat baik-baik ke dalamnya, dan saat itu juga Mujin melihat Jiho dari balik kacamata hitamnya. Mereka bertatapan hanya dalam waktu dua detik, lalu mobil Mujin menjauh hingga akhirnya hilang di tikungan.

"Choi Mujin?" gumam Jiho.

Jiho yakin seratus persen itu adalah Choi Mujin, mantan pacarnya. Ia juga masih ingat dengan pasti plat mobilnya. Jantungnya nyeri seperti diremas dengan kencang. Jiho mengambil langkah mundur dan mengumpulkan fokus dan kesadarannya. Detak jantungnya sangat kencang hingga wajahnya terasa panas. Ia berpikir Mujin hanya kebetulan lewat di daerah tempat tinggalnya. Ia tidak tahu saja kalau semalaman Mujin berada disitu, tidak berharap bertemu, tapi hanya ingin tahu bagaimana keadaannya. Setelah itu, Jiho masuk ke dalam bis, duduk melamun dan mengusap matanya. Semua kenangan bersama Mujin muncul di kepalanya.

Sementara itu, Mujin memberhentikan mobilnya setelah melewati tikungan itu, ia tidak ingin Jiho menyadari bahwa itu memang dirinya. Ia duduk terdiam, bayang-bayang Jiho yang baru saja ia lihat barusan menempel di kepalanya. Mujin mengeluarkan ponselnya.

"Taeju-ya."

"Nde, hwejangnim."

"Batalkan semua pertemuan hari ini."

"Ehm... Anda serius, Pak? Ada pertemuan penting yang sudah kita rencanakan selama satu bulan ini—"

"Kau dengar perintahku? Batalkan. Semuanya. Tidak ada pertemuan dalam dua hari ini."

"Arasseo. Tapi, anda baik-baik saja, Pak?"

"Aku hanya sedang ingin beristirahat."

"Oh, baiklah. Hati-hati dijalan, Pak."

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang