XXII.

538 57 8
                                    

A.N.
Sorry baru up lagi guys, lagi liburan malah sibuk nih 🥲 Semoga kalian baik-baik sajaa dan menikmati chapt ini yaa.

Sebelum baca ayo vote dulu. 30 vote trus ku lanjut lagi yuks! Hayo bisa gak ya? 😅

•••

Satu malam berlalu tanpa kabar dari Mujin, hingga pagi hari menjemput. Jiho berusaha untuk bersikap seolah tidak ada apa-apa. Ia menyantap sarapan paginya dengan sapaan ramah dari pelayan yang sudah akrab dengannya. Seorang anak buah Mujin datang ke arahnya dan berbicara kepadanya.

"Permisi, Ibu Lee. Aku diminta untuk memberitahu kepadamu bahwa dokter akan datang untuk memeriksamu pagi ini."

Jiho melirik jam tangannya dan menghela nafasnya. Ia sudah lebih sering telat tapi tidak pernah mendapatkan teguran sekecil apapun. Pacarnya adalah bos besar perusahaan tempatnya bekerja dan telat bukanlah masalah baginya.

"Apakah dokter sudah datang?"

"Belum. Mungkin, dua puluh menit lagi, Bu."

"Arasseo. Aku akan menunggunya. Terimakasih, Ju Hyun."

Anak buah Mujin selalu tersenyum kepada Jiho karena Jiho mengingat nama-nama mereka, meskipun ada puluhan dari mereka. Ju Hyun pamit dan keluar dari penthouse.

Sambil menunggu, Jiho membuka laptopnya dan sebisa mungkin melakukan pekerjaannya dari rumah. Ia meninjau beberapa pekerjaan tim-nya dan merangkumnya dalam sebuah slideshow. Mujin menyukai Jiho yang selalu bertanggung jawab, tidak seperti wanita lain yang pernah dekat dengannya hanya karena kedudukannya dan ingin menikah dengan Mujin agar mereka terbebas dari beban finansial. Jiho bahkan menolak untuk berhenti bekerja tapi Mujin sama sekali tidak keberatan jika Jiho tidak bekerja.

Tepat dua puluh menit setelahnya, Ju Hyun datang bersama seorang dokter yang merupakan dokter pribadi Mujin serta organisasi, Jiho sudah beberapa kali bertemu dengannya. Setelah dokter itu meletakkan perlengkapannya di meja ruang tengah, Ju Hyun pamit kepada keduanya.

"Selamat pagi, Nona Lee. Apakabar?"

Dokter Lim melihat luka di beberapa bagian wajah Jiho dan mengangguk paham.

"Aku... cukup baik, Dokter."

"Hmm," Dokter Lim tersenyum tipis dan meminta Jiho duduk. "Baiklah, kita akan lihat. Aku akan memulai pemeriksaan."

Pria berusia sekitar 40-50 tahunan itu pernah memberitahu bahwa ia sudah bekerja bersama Mujin selama hampir dua puluh tahun. Ia sudah tahu persis seperti apa Choi Mujin. Tapi baru kali ini ia bertemu perempuan yang tinggal di kediaman Mujin dan melihat langsung bagaimana Mujin melampiaskan emosinya kepada perempuan ini.

Dokter Lim melipat lengan baju Jiho hingga sikutnya dan mengamati bekas lukanya yang sudah mulai memudar.

"Aku akan memberikanmu salep untuk menghilangkan bekas-bekas lukamu."

"Baiklah, dok."

"Di bagian tubuhmu yang tertutup, apakah ada keluhan?"

"Tidak ada, yang ku tahu."

"Hmm. Silahkan mengikat rambutmu sebentar, Nona Lee. Aku perlu memeriksa lehermu dan sekitarnya."

Jiho mengikat rambutnya dan membuka satu kancingnya. Dokter memeriksa keseluruhannya dan menekan beberapa bagian, menanyakan apakah rasanya sakit. Lalu ia melanjutkan memeriksa wajahnya yang sudah jelas sakit, ada luka di bagian pipi dan ujung bibirnya.

Dokter Lim menghela nafasnya dan mencoba memahami situasi. Ia membuka catatannya dan menulis hasil pengamatannya.

"Cheosonghaeyo, dokter, apakah aku boleh tahu, apa yang terjadi dengan Mujin? Aku... menemukan beberapa obat yang sepertinya diresepkan olehmu, atas namanya."

"Aku tidak bisa memberitahumu, Nona Lee, choesonghamnida. Selama Tuan Choi tidak mengizinkan aku untuk memberitahumu, maka aku tidak bisa memberikan informasi kepadamu."

Dari wajahnya Jiho masih sangat penasaran, dan berharap dokter Lim memberinya sedikit informasi. Dokter Lim mencoba tersenyum kepada Jiho dan menjawabnya dengan professional.

"Dari analisisku pada tubuhmu, aku dapat mendiagnosis psikologi Tuan Choi. Kemarin malam, Tuan Choi memintaku datang untuk memeriksamu pagi ini, karena ia tidak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Maaf, hanya itulah yang bisa kuberitahu kepadamu."

"Hmm, baiklah. Aku paham, dokter."

Jiho kembali teringat tentang Mujin. Diluar perilakunya yang seringkali membuat Jiho takut dan khawatir, Mujin sangat protektif terhadapnya. Mungkin inilah salah satu bentuk recovery dari kambuhnya sakit psikis yang dimilikinya.

"Masih terjadi beberapa trauma di tubuhmu. Aku akan memberikan beberapa obat, tablet dan salep. Seperti biasanya, nanti salah satu dari anak buah Tuan Choi akan membawakannya untukmu."

"Terimakasih, dokter."

Setelah selesai, Jiho berjabat tangan dengan Dokter Lim dan pamit untuk kembali bekerja. Sudah jam sembilan lewat dan Jiho juga harus segera berangkat ke kantor.

•••

"Jiho-ssi, kau baik-baik saja?" tanya salah satu rekan kerjanya, menepuk lengannya

Selama diskusi, Jiho melamun dan tidak menyahut saat dipanggil.

"Eh? Iya, aku tidak apa-apa."

Ia hanya melontarkan jawaban dengan asal. Terkadang Jiho suka lupa bahwa isi pikirannya terlalu mudah ditebak orang lewat wajahnya. Ditambah jika gugup, Jiho sering menggigiti bibirnya.

Siang hari sudah lewat dan ia masih belum mendapatkan kabar dari Mujin. Di satu sisi Jiho masih merasa sedikit sedih Mujin menyembunyikan identitas aslinya kepadanya, tapi bagaimana Jiho bisa terus sedih dan tidak memedulikan keadaan Mujin saat ini? Jiho sudah beberapa kali menelepon Mujin, tapi setelah siang tadi, ponsel Mujin sudah tidak aktif. Ia jadi semakin khawatir.

"Kau yakin kau tidak apa-apa? Sepertinya kau harus beristirahat dulu. Percuma jika kau tidak fokus."

"Gwaenchanayo. Aku benar-benar tidak apa-apa. Maaf, aku hanya mengantuk."

Hari ini Jiho harus bekerja lembur. Ia bisa saja tidak melakukannya tapi ia berniat mengambilnya agar ia bisa berhenti memikirkan Mujin untuk beberapa jam saja. Ia berharap malam nanti atau keesokan hari ia sudah mendapatkan kabar dari Mujin.

"Kau akan lembur malam ini?" tanya Seung Mi, salah satu timnya.

"Nde, sepertinya begitu," jawab Jiho dengan senyum masam.

"Are you really okay? Sepertinya ada yang menganggu pikiranmu," tanya Seung Mi, melihat wajah Jiho yang pucat.

"Sedikit, tapi tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya."

"Baiklah. Kalau ada apa-apa, kau bisa sampaikan kepada kita. Tentu saja kau boleh pulang jika sedang tidak sehat."

"Hmm. Terimakasih, Seung Mi-ah."

Jiho merapikan kertas yang berantakan di atas mejanya, dan sesekali melirik ke jam tangannya. Jam 8 malam dan masih tidak ada kabar dari Mujin.

"Sepertinya aku harus menyibukkan diriku lebih lama lagi," ucapnya kepada dirinya sendiri.

•••

Jiho mengambil kopi di pantry. Ia mulai merasa mengantuk, dan kepalanya terasa pusing karena ia kurang tidur semalam. Handphonenya bergetar di sakunya. Telepon dari Taeju.

"Jiho-ssi," suara Taeju terdengar seperti sedang mencoba tenang dari sebenarnya sesuatu sedang mengusiknya.

"Taeju-ssi. Wae geurae?"

Mata Jiho terbuka lebar mendengar suara Taeju. Ia tidak lagi memerlukan segelas kopi. Ini pukul setengah sebelas malam.

"Aku di depan kantormu. Bisa segera keluar?"

"Apakah semua baik-baik saja?"

"Aniyo. Choi Mujin sedang dirumah sakit dan tidak sadarkan diri. Turunlah sekarang."

•••

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang