LVI.

394 153 15
                                    

Sepulang dari Busan, Mujin menghadapi beberapa masalah yang cukup membuatnya tertekan. Ia masuk ke rumahnya yang ia tinggali bersama Jiho, dengan serampangan melempar benda kaca yang ia lihat di depan matanya.

Jiho mengambil langkah mundur menjauhi Mujin yang melangkah cepat mendekatinya, dengan tatapan mata yang berapi-api.

"Choi Mujin... Berhenti."

Jiho tahu tidak mudah menenangkan Mujin disaat pria itu kembali kambuh, tapi Jiho harus berusaha.

Mujin menggenggam rambut Jiho dan menjambaknya dari belakang, sehingga kepala Jiho terdongak.

"Apa yang terjadi kepadamu, hmm? Katakan kepadaku, Mujin-ah."

Mujin menggelengkan kepalanya dan nafasnya berhembus kencang mengenai wajah Jiho.

"Belum mau mengatakannya kepadaku? Gwenchanayo. Sekarang kamu harus tenang dulu, arasseo?"

Jiho mencoba tersenyum walau dadanya terasa sesak. Tangan Mujin terus menjambak rambutnya dan menyakiti kulit kepalanya. Jiho meletakkan tangannya di pipi Mujin yang kemudian langsung ditepis oleh pria itu.

"Jika kemarahanku tidak bisa kukendalikan, peluklah aku, Lee Jiho. Walaupun aku memberontak dan terus marah, peluklah aku sekuat tenagamu. Aku akan berusaha melawan amarahku, dengan sentuhanmu..."

Untuk pertama kalinya, Jiho memberanikan diri untuk melawan tenaga Mujin dan melepaskan cengkeraman kerasnya di kepalanya, dan memeluk tubuh kaku Mujin. Tidak seperti biasanya, tubuhnya dibalut keringat dan kulitnya terasa dingin. Jiho memeluk Mujin sekuat tenaganya. Sesuai dugaannya Mujin melawan dan memberontak, tapi Jiho tidak menyerah. Mujin memintanya untuk meredam emosinya dengan sentuhannya, dan itulah yang akan Jiho lakukan sekarang.

"Jiho! Andwae, lepaskan aku!!"

Jiho tahu itu bukan diri Mujin yang sebenarnya yang sedang meneriakinya. Itu adalah emosinya.

Kedua tangan Mujin memegang bagian punggung Jiho dan ia pun frustrasi dengan usaha Jiho, hingga akhirnya kukunya merobek sebagian baju Jiho.

"Jauhi aku, Lee Jiho! Aku akan menyakitimu. Pergi!"

"Ani..."

Suara dan seluruh tubuh Jiho gemetar menahan tenaga Mujin, air mata pun turut berlinang di pipinya. Jiho tetap mempertahankan posisinya memeluk Mujin. Ia bisa merasakan bagaimana beratnya Mujin bernafas. Mujin tidak sekedar marah, ia berusaha mengatur emosinya. Dengan kedua tangannya yang kuat, Mujin mendorong tubuh Jiho hingga terlepas, namun Jiho kembali mendekap tubuhnya. Tidak lama lagi bekas-bekas lebam akan muncul di tubuh Jiho.

Menit demi menit berlalu, akhirnya Mujin terkulai lemas di pelukan Jiho. Jiho bisa mendengar suara tangisan Mujin di telinganya. Pria itu lelah. Lelah dengan dirinya sendiri, dengan penderitaannya yang tidak berujung.

"Jiho-ya... Hhkk..." Mujin melenguh dan terisak.

"Ne..."

"Aku menyakitimu lagi. Dulu aku merasa lebih baik dari ini, sewaktu aku melampiaskan amarahku ke barang-barang yang ada di sekitarku. Tapi, aku kembali merasa buruk. Kenapa kamu melakukan ini, Jiho? Ini membuatku sedih."

Jiho terdiam, membiarkan kepala Mujin bersandar di kepalanya.

"Seharusnya kamu membiarkan aku seperti dulu saja. Setidaknya aku tidak harus menyakitimu," lanjut Mujin.

"Aku ingin mencoba, Mujin-ah... Kamu ingat? Beberapa hari yang lalu, kamu mengatakan, jika aku sanggup, aku harus terus memelukmu saat kamu sedang hilang kendali."

"Apa kamu tidak apa-apa dengan itu? Aku merasa tidak baik-baik saja."

"Hmm," Jiho tersenyum, memeluk tubuh Mujin yang mulai terasa hangat. "Tapi, kamu lihat? Aku bisa melaluinya."

"Kamu siap berumah tangga denganku, Jiho? Setiap beberapa kali, kejadian seperti ini akan terus terulang. Aku tidak ingin terus seperti ini. Brengsek, aku terus berpikir untuk mengakhiri hidupku."

"Hentikan ucapanmu."

"Aku tidak bisa hidup tanpamu, tapi aku juga tidak ingin terus menyakitimu seperti ini. I have no choice, Lee Jiho."

"Aku selalu disini untukmu, Mujin. Percayalah padaku, aku mampu. Apa kamu percaya padaku?"

Jiho mulai merasa panik, karena Mujin belum pernah di titik serendah ini. Kedua tangan Mujin terkulai di kedua sisi tubuhnya.

"Aku tidak tahu... Aku tidak tahu, Jiho."

Jiho menggigit bibirnya, sakit hatinya melihat Mujin seperti ini.

"Katakan padaku, apakah mengatakan bahwa aku berani menikahimu kepada orangtuamu itu hal yang bodoh?" tanya Mujin.

"Choi Mujin, berhenti meracau."

Tangis Mujin menjadi lebih deras. Ia menutup wajahnya dengan tangannya yang besar dan memukuli kepalanya sendiri.

"Mujin-ah... Mujin, berhenti. Mujin... Please."

Jiho memegang kedua tangan Mujin, lalu wajah merah dengan mata sendu itu terlihat jelas. Mujin terlihat sangat rapuh.

"Maafkan aku, Jiho... Aku tidak pantas menjalani hidup bersamamu. Aku bukan orang yang normal, yang bisa membuatmu bahagia setiap hari. Bersamaku, kamu hanya akan merasakan sakit hati dan sekujur tubuhmu akan terluka, memar dan trauma. Hanya itulah yang bisa kuberikan kepadamu."

"Ada pula saat-saat yang membahagiakan bersamamu, dan hari-hari itu menjadi hari yang paling berkesan dalam hidupku, dan aku tidak akan pernah ingin menukarnya dengan hal lain. Aku sangat mencintamu, Choi Mujin, apakah sedikitnya kamu tahu itu?"

"Aku juga mencintaimu, dan aku tidak ingin terus melukaimu. Jiho... Aku merasa seperti bajingan. Aku tidak bisa, aku tidak sanggup menatap matamu. Ini benar-benar membuatku gila."

"Mujin..."

"Tinggalkan aku, Jiho..."

"Mujin, hentikan. Aku tidak ingin kamu menyakiti dirimu sendiri."

"Aku akan disini. Aku tidak akan kemana-mana. Aku berjanji padamu," Mujin membuang wajahnya dan memutar tubuhnya menjauhi Jiho.

Jiho menatapnya dengan air mata yang mengalir di pipinya. Mungkin benar bahwa Mujin hanya butuh waktu sendiri, tapi Jiho sangat gusar jika Mujin menyakiti dirinya. Ia harus meninggalkan Mujin saat ini, mungkin itulah yang benar-benar dibutuhkan Mujin saat ini.

"Baiklah."

Akhirnya, Jiho memberanikan diri untuk keluar dari kamar dan meninggalkan Mujin di kamar sendiri. Ia berdiam di ruang tamu dan terus melirik ke pintu kamar mereka, mengkhawatirkan sesuatu terjadi kepada Mujin.

Di tengah malam, Jiho menerima pesan di ponselnya. Dari Yoona.

Jiho-ya, bisa temani aku malam ini? Ada beberapa orang yang berusaha masuk di rumahku, dan Doyeon sedang pergi ke luar kota.

Jiho terkejut membaca pesan dari sahabatnya itu. Ia bergegas berganti celana panjang yang ia temukan di dekatnya, dan hanya pergi dengan ponsel di tangannya. Sebenarnya Jiho tidak mau pergi, tapi ia juga tidak bisa membiarkan Yoona sendirian. Yoona butuh bantuan. Jiho pergi untuk meminta bantuan dari salah satu ajudan yang berjaga disana, untuk pergi bersamanya ke rumah Yoona.

Sementara itu, Mujin di kamar, duduk di tepi kasur dan termenung. Wajahnya pucat karena tidak makan seharian, dan ia tidak bisa menutup matanya untuk sekedar mengistirahatkan pikirannya. Mujin pergi ke lemarinya, tempat ia menyimpan barang-barang pribadinya, dan mengambil kotak yang sudah ia siapkan. Sebuah cincin yang sudah ia siapkan untuk melamar Jiho malam ini.

•••

A/N
Maaf pendek 😭 yang penting update ya kan 😭

Author tidak bisa berkata2 hiks. Sedih, gimana ini??

Bantu vote ya biar cerita terus berlanjuttt, 120 lanjut, lebih banyak lebih baik hhehhe ❤️

Sad ending sabi juga ga sih?

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang