XIX. 🔞

844 53 9
                                    

Bunyi telepon membangunkan Jiho. Ia mengerang karena masih mengantuk dan merasakan sakit di bagian belakang kepalanya, yang kemarin malam terantuk tembok berkali-kali. Langit diluar sudah terang benderang. Sepertinya sudah menjelang siang hari.

"Ah..," ia meringis, memegangi kepalanya yang berdenyut.

Ketika ia menggerakkan tangannya, rasa nyeri juga masih terasa di pergelangannya yang diikat dengan kencang semalam. Karena ia terus menggerakkan tangannya berusaha untuk melepasnya sehingga kulit di bagian itu memerah.

Lengan Mujin membujur menutupi dadanya. Pria itu tertidur dalam keadaan memeluknya semalam. Tubuh Mujin mulai bergerak, sepertinya ia juga terbangun karena Jiho bangun. Mendengar kekasihnya itu mulai melantur dengan suara yang berat, Jiho tersenyum.

Tsh. Dasar bodoh. Dia membuatmu sakit seperti ini, dan kau masih bisa tersenyum melihatnya. Hhhh... Entah aku memang mencintainya atau aku memang benar-benar bodoh. Tapi, itu bukannya sama saja?

Ponselnya tidak berhenti bergetar. Jiho meliriknya dan mengulur tangannya untuk mengambilnya. Tapi Mujin menarik tubuhnya dan memeluknya.

"Tsk. Buang saja benda itu," ujar Mujin sembarangan.

Jiho mendengus menertawai kekasihnya yang sering berbicara asal itu. Ia tetap mengambil ponselnya. Matanya melotot melihat siapa yang meneleponnya itu.

Ibunya.

"Aegiya," panggil Jiho.

"Hmm."

"Ini ibuku."

Jiho seperti membeku tiba-tiba. Sudah beberapa minggu ini ia tidak menghubunginya. Terakhir ia menghubungi ibunya saat ia masih tinggal di rumah milik Mujin itu. Mungkin masih lazim jika ibunya datang ke rumah itu. Setidaknya ia tinggal sendirian disana. Dan biasanya ibunya menelepon jika ingin menemuinya. Ibunya tinggal di sebuah distrik di Busan dan mereka jarang bertemu.

Mujin tertawa pelan.

"Memangnya kenapa? Angkat saja."

Jiho bernafas lega karena akhirnya panggilan tersebut mati. Namun lima detik kemudian, ibunya kembali meneleponnya.

"Angkat. Aku ingin mendengar suara calon mertuaku."

Jiho memukul pelan tangan Mujin yang sibuk memegangi payudaranya.

"Ya," Jiho terkekeh. "Sembarangan. Mujin-ah, dia mungkin akan mengajakku bertemu."

"Aku tidak ada masalah jika ibumu ingin datang bertemu denganmu disini. Lagipula bukannya kamu nantinya juga akan memperkenalkanku kepada orangtuamu, hmm?"

Orangtua Jiho bisa kaget mengetahui pacar anaknya: Satu, tinggal di sebuah penthouse di salah satu hotel termewah di Seoul; Dua, berpenampilan seperti pria dingin yang bukan hanya sekedar CEO biasa; Tiga, hanya berbeda beberapa tahun umurnya dengan mereka. Ibunya berusia 53 tahun dan ayahnya 54 tahun sementara Mujin berusia 46 tahun.

"Maksudku, ehm... Tidak dekat-dekat ini."

"Angkat sekarang, Lee Jiho," omel Mujin.

"Aish," Jiho tidak punya pilihan lain. "Nde, eomma."

Mujin mengangkat selimut yang menutupi tubuh Jiho, dan merangkak ke atas tubuh kekasihnya itu. Ia tersenyum licik menatap Jiho yang salah tingkah. Gadisnya itu selalu saja salah tingkah jika ia menggodanya.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang