LIII.

445 149 45
                                    

"Jiho? Kenapa—"

Mujin mengikuti kemana mata Jiho pergi. Wajah gadis itu berseri-seri melihat gaun-gaun yang dipajang di dalamnya. Mujin tersenyum dengan tatapan yang penuh kasih sayang, memandang kekasihnya yang melamun mengagumi gaun pernikahan.

"Ada apa, kamu suka? Mau ke dalam dan melihat?" tanya Mujin dengan suara yang paling lembut yang pernah Jiho dengar.

Jiho terbangun dari lamunannya dan menggelengkan kepalanya.

"Oh, mianhae. Itu... gaun yang sangat cantik dan aku, ehm... aku..."

Mujin menunggu Jiho menyelesaikan kalimatnya dengan gugup.

"Aku hanya suka melihatnya. Itu saja. Aku selalu suka melihat gaun pernikahan yang cantik. Ehm, iya."

"Hmm," Mujin mengangguk sambil merapikan rambut Jiho yang tertiup angin. "Arasseo. Kamu sungguh tidak mau masuk untuk melihatnya?"

"Aniya."

"Mau melanjutkan ke tempat lain?"

"Nde. Kaja."

Jiho meremas lengan Mujin dan mereka kembali mengelilingi tempat itu, membuang-buang uang Mujin yang tidak ada habisnya. Setelah puas dan Jiho tidak tahu lagi harus membeli apa, akhirnya Jiho dan Mujin masuk ke mobil, dengan tiga jinjing tas belanja di tangan Mujin.

"Aku tidak paham kenapa ada wanita yang tidak tahu harus membeli apa. Apa memang ada wanita sepertimu begitu?" tanya Mujin dengan kebingungan yang polos di wajahnya.

"Tas, sepatu, dan dress yang bagus. Itu sudah cukup, kurasa. Lagipula kalau kamu meminta aku membelinya dalam satu hari yang sama aku merasa itu hal yang aneh."

"Kenapa?"

Mujin bertanya sambil membuka kaca mobilnya dan menyalakan sebatang rokok.

"Yang pertama, dari kecil aku selalu diajarkan untuk membeli sesuatu sesuai kebutuhan. Kedua, musim depan koleksi pakaian akan berubah dan lebih baik berbelanja di setiap musim yang berbeda."

Alis Mujin berkerut menatap Jiho.

"Aku tidak menyangka kamu sepintar itu," pria itu menekan tombol agar mesin mobil menyala dan ia pun tersenyum lebar. "Pilihanku tepat."

•••

Langit sudah mulai gelap. Setiap hari Jiho selalu berangkat dari dan pulang ke rumah yang sama, yaitu rumah yang dibelikan Mujin untuknya. Sementara untuk Mujin, sudah satu bulan ia tidak kembali ke rumah ini. Pria tampan itu membuka kacamata hitamnya dan memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Ia lalu berjalan di samping Jiho sambil membawakan tas belanjanya, lalu membuka pintu rumahnya.

Jiho bingung menatap Mujin, yang wajahnya berubah karena ada sebuah rasa penyesalan tersirat di dalamnya.

"Waeyo?" Jiho memiringkan kepalanya melihat ekspresi wajah Mujn.

"Eoh? Aniyo."

"Selamat datang kembali, Mujin-ah. Ini rumahmu juga."

Mata Mujin menjelajahi setiap ujung rumah itu. Setiap meter di rumah itu terawat bersih, mengkilap dan tidak ada perubahan pada tata letaknya sedikitpun sejak ia meninggalkannya.

"Terimakasih, Jiho-ya," Mujin memeluk Jiho tiba-tiba.

"Hmm..."

Gadis itu tersenyum merasakan eratnya pelukan Mujin. Ia mengelus punggung Mujin. Tubuh pria paruh baya itu terasa semakin kencang dan keras dari sebelumnya. Apa dia semakin sering merawat tubuhnya saat tidak bersamaku?

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang