LI.

446 149 26
                                    

Jiho pergi ke kamar mandi, menangis dan membersihkan tubuhnya. Ia duduk di bawah shower, membiarkan air hangat menenangkan setiap sel-sel tubuhnya sampai ia berhenti menangis. Tidak terasa Jiho sudah satu jam lebih berada di dalam kamar mandi. Ia mengambil sebuah bathrobe, menutupi tubuhnya dengan itu, dan melihat dirinya di kaca yang sudah jauh berbeda dari beberapa jam sebelumnya. Terdapat memar di tangannya, darah kering di sekitar lubang hidungnya yang luput ia bersihkan tadi, dan juga luka gigit di lehernya. Jiho meringis saat membersihkan luka itu dengan kapas.

Setelah beberapa menit di dalam, Jiho kembali ke kamar. Ia duduk termenung di kamarnya. Air mata mengalir begitu saja dari matanya tanpa isak tangis. Jiho mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk kecil. Kepalanya terasa pusing. Sepertinya ia terlambat makan. Tangisan dan teriakan yang hebat tadi membuatnya kepalanya semakin sakit.

Tok..tok..tok...

Terkejut, Jiho menoleh ke pintu yang diketuk. Ia tidak kenal siapapun disini kecuali teman dan koleganya. Di penthouse Busan pun orang-orangnya berbeda. Jiho bangun untuk membuka pintunya.

"Annyeonghaseyo, Nona Lee," sapa seorang pelayan wanita yang sepertinya hanya beberapa tahun lebih tua darinya.

"Nde, annyeonghaseyo."

"Namaku Sun Ha Shin, aku pelayan di penthouse ini. Tuan Choi memintaku mengantarkan sesuatu untuk anda."

"Ee... Hmm. Baiklah. Terimakasih, Ha Shin-ssi."

Jiho melirik sebuah tas jinjing hitam yang dibawa Ha Shin, dan tray berisi semangkuk sup, obat serta segelas air putih di atasnya.

"Aku tidak tahu anda sudah makan atau belum, tapi karena anda butuh minum obat, perut anda juga sebaiknya dalam kondisi terisi," ujar wanita itu lembut sambil meletakkan tray-nya di atas nakas.

"Oh, terimakasih, Ha Shin-ssi."

Jiho menerima pemberian di tas itu dari tangan Ha Shin.

"Jika butuh sesuatu, aku ada di dapur, Nona Lee."

"Nde."

Pelayan itu membungkukkan badannya kepada Jiho lalu keluar dari kamarnya.

Jiho mengeluarkan isi tas itu dan mengambil sebuah kotak yang ternyata adalah sebuah ponsel baru. Ia duduk di kasur dan menyalakan ponsel barunya, menunggu sesuatu. Apa yang dia harapkan? Menerima pesan dari Mujin? Jiho menertawai dirinya sendiri dengan miris. Ia menekan tombol daftar kontak dan pertama-tama yang ia simpan adalah nomor ponsel Mujin yang ia sudah hafal di luar kepala. Kedua Jiho langsung menyimpan nomor ponsel adiknya dan menghubunginya.

"Yeoboseyo?"

Suara Lee Seohyun terdengar sedikit takut. Apalagi telepon ini dari nomor yang tidak dikenal.

"Ini eonnie. Maafkan aku. Kamu baik-baik saja?"

"Eonni! Nde, kami semua baik-baik saja. Ada dua orang yang berjaga di depan rumah dan memasang sensor pengaman. Tadi seorang laki-laki masuk dan bilang dia mencari sesuatu yang ditinggalkan Hyungim."

"Oh, syukurlah kalian semua baik-baik saja. Mereka adalah orang yang akan membantu kita, tenang saja. Appa dan eomma melihat mereka?"

"Tidak. Appa dan eomma masih beristirahat di kamar. Tapi aku akan merahasiakan ini semua dari mereka."

"Baguslah. Anak pintar. Jangan takut, Seohyun-ah. Aku yakin kalian dalam keadaan yang aman."

"Bagaimana denganmu, eonni? Kamu baik-baik saja?"

"Nde. Aku bersama pacarku," Jiho tersenyum pahit karena harus berbohong. "Dia yang akan membantu menjagaku dan juga keluarga kita."

Jiho hanya asal bicara, tapi ia benar. Semarah apapun Mujin kepada Jiho, ia pasti akan bertanggung jawab dengan keselamatan orang-orang yang tidak sengaja terlibat dalam bisnisnya. Apalagi ini Jiho, seseorang yang sangat ia cintai.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang