XXVI.

474 53 7
                                    

Setelah Mujin pergi, Jiho menenangkan dirinya untuk menerima situasi ini. Ia memaksakan sebuah senyum agar dirinya tidak menjadi semakin sedih, lalu bangkit dari tempat tidur. Ia mengambil sebuah robe dari dalam closet penyimpanan bajunya dan baju Mujin, dan menutup tubuhnya.

Tok.. Tok..

Jiho melongok ke pintu.

"Permisi, Nona Lee, boleh aku masuk sebentar?"

Suara pelayan Mujin yang biasa memasak dan membersihkan kamar mereka terdengar.

"Tunggu sebentar, Bu Yeo."

Jiho menyalakan air di wastafel dan membasuh wajahnya, dan juga darah di tangannya yang sudah mengering agar ia tidak terlihat terlalu kacau. Setelah itu, Jiho membukakan pintu untuk Bu Yeo.

Bu Yeo adalah seorang pelayan yang sudah sangat lama bekerja bersama Choi Mujin. Dan ia menyukai Jiho. Menurutnya, Jiho adalah wanita yang cocok untuk Mujin, dan bisa membuat Mujin lebih sering tersenyum, dibanding dulu. Walaupun umur mereka terpaut cukup jauh, tapi Jiho sangat dewasa dan bisa mengimbangi Mujin.

"Maaf. Pak Choi memintaku merawat lukamu. Apa kau terluka parah?" tanya Bu Yeo, sambil membawa tray aluminium yang berisi obat antiseptik, gunting, plester dan kassa.

"Ah, itu. Tidak parah, Bu Yeo."

Jiho menunjukkan telapak tangannya yang merah dan terdapat luka sayat pendek. Bu Yeo kaget melihat ada luka di sana.

"Apa yang terjadi?"

Keduanya masuk ke dalam kamar dan duduk di sofa kecil yang ada di dekat kaca kamar.

"A-aku memecahkan gelas setelah beberapa gelas anggur. Lalu aku terpeleset saat membersihkan pecahannya."

Bu Yeo menepuk paha Jiho dan tersenyum. Ia tahu bukan itu yang terjadi sebenarnya. Karena Jiho seharian di dalam penthouse, hanya menyelesaikan pekerjaan di depan laptopnya. Gadis itu baru masuk ke kamar setelah Mujin tiba. Wanita paruh baya itu juga sudah melihat noda darah di kasur, dan bagaimana kasur itu sangat berantakan.

"Lain kali lebih hati-hati, Nona Lee," ujarnya dengan senyum yang menenangkan. Wajah dan suara Bu Yeo sangat keibuan.

Jiho tersenyum masam.

"Heh. Aku sangat ceroboh, bukan?" jawabnya dengan bibir cemberut. "Bu Yeo, kau tahu kemana Choi Mujin pergi?"

"Tidak akan jauh-jauh. Mungkin hanya ke markas, untuk bertemu dengan temannya. Pak Choi bukan tipe pria yang suka pergi sendiri dengan tujuan tidak jelas, seperti minum-minum di bar sendirian dan semacamnya. Dia tidak begitu suka keramaian. Dan kau tahu dia punya puluhan koleksi alkohol kan," jelas Bu Yeo sambil terkekeh pelan, seperti berbicara tentang anaknya. Ia memberi perhatian khusus kepada tangan Jiho yang lembut. "Tuan Taeju terkadang bercerita kepadaku, itulah bagaimana aku bisa tahu. Dan puluhan tahun aku bekerja disini, aku tahu Pak Choi memang laki-laki yang tidak pernah berbuat aneh-aneh, Nona Lee."

Setelah membersihkan luka Jiho dengan antiseptik, Bu Yeo menempelkan dua plester di atas kassa untuk menutup luka itu.

"Oh, syukurlah..."

Bu Yeo mengusap-usap punggung gadis yang sedang menundukkan kepalanya itu.

"Sudah. Kau harus makan malam, Nona Lee. Kau ingin makan di meja makan atau ingin aku antar ke kamar?"

"Aku akan makan di ruang tamu saja, Bu Yeo. Aku butuh menyelesaikan satu dua hal lagi di depan laptopku."

"Baiklah. Aku akan membuatkanmu rabbokki. Kau suka?"

"Aku sangat suka!" Jiho tersenyum lebar. Akhirnya gadis itu bisa tersenyum malam ini. "Terimakasih, Bu Yeo."

"Aku akan membuatkan yang spesial untukmu, dan gimmari juga."

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang