LV.

437 149 20
                                    

Jiho menatap ke jendela yang menampakkan pemandangan awan putih yang cantik menghias langit biru terang di siang hari itu. Tanpa memberitahu apapun, Mujin mengajaknya pergi ke Busan dan tidak memberitahu tujuannya. Jiho tidak punya pilihan lain selain menurut, ia juga tidak punya rencana lain untuk hari ini.

Matanya melirik ke arah Mujin yang sedang membaca sesuatu di tab-nya, lalu ia memutar matanya merasa sedikit kesal.

"Aku sedang sibuk, nanti saja marahnya," ujar Mujin menyadari Jiho menatapnya dengan ketus.

Jawaban macam apa itu? Jika ia bukan pacarku ini namanya penculikan.

"Pastikan saja kamu tidak membawaku ke tempat yang aneh."

"Tidak akan, Jiho, tenang saja," jawab pria itu dengan enteng, yang kemudian mengambil segelas whiskey dan meminumnya lalu melanjutkan membaca tab-nya lagi.

Setelah beberapa menit, Mujin menyelinapkan tangannya di paha Jiho dan memegang tangan kekasihnya itu sambil tetap melakukan kesibukannya. Kekesalan Jiho berkurang dan hampir hilang saat Mujin menggenggam hangat tangannya. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlalu mudah luluh terhadap sentuhan dari seorang Choi Mujin.

Perjalanan ke Busan ditempuh dengan waktu kurang dari dua jam menggunakan pesawat. Mujin dan Jiho kemudian dijemput oleh sebuah mobil sedan mewah silver. Jiho menguap di awal perjalanan dan ia pun akhirnya tertidur pulas.

Ketika terbangun, mata Jiho langsung terbuka lebar melihat mobilnya berhenti di depan rumah keluarganya. Ia tidak melihat ada Mujin di sebelahnya, dan hanya menemukan supirnya yang tidak ia kenal.

"Chogiyo, dimana Choi Mujin?" tanya Jiho dengan sopan kepada supir tersebut.

"Tuan Choi sudah turun sekitar dua puluh menit yang lalu."

"Oh. Astaga, Choi Mujin. Apalagi yang ia lakukan?"

Jiho buru-buru mengambil tasnya dan keluar dari mobil untuk menyusul ke dalam rumah. Ia membuka pintu rumahnya dan melepas sepatunya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ada apa Mujin membawanya kesini?

Jiho menemukan Mujin sedang mengobrol bersama ayahnya di sebuah sofa tua yang nyaman sambil merokok. Mwoya? Sementara ibunya sedang memasak di dapur dibantu oleh Seohyun yang asik menata piring dan gelas di meja dengan headphone di telinganya.

Apa yang terjadi??

"Appa, apa yang appa lakukan? Merokok? Itu tidak baik untuk jantung appa," omel Jiho.

"Jiho-ya, kenapa langsung marah-marah padahal baru sampai? Belum tentu satu bulan sekali appa merokok. Bagaimana aku bisa diam saja untuk menyambut laki-lakimu ini yang bertamu, eoh? Eomma juga sudah mengizinkan," pria tua itu melirik ibunya di dapur yang membalasnya dengan senyuman. "Apa kabar, anakku?"

"Aigo...," Jiho menatap ayahnya dan Mujin dengan sinis. "Aku baik-baik saja. Appa gwenchanayo?"

"Ne. Keadaan appa sangat baik. Geundae, Mujin disini terlihat kelaparan, sebentar lagi kita akan makan. Kamu lapar, Jiho?"

"Nde. Ini sudah jam makan siang. Mujin-ah, jangan pancing ayahku untuk melakukan kebiasaan lamanya."

Ayah Jiho terkekeh.

"Ya, begitu, Mujin-ssi. Jiho memang sinis tapi dia itu sebenarnya sangat lembut dan penyayang."

"Ye, abeonim," jawab Mujin dengan senyum lebar. "Tidak apa-apa. Aku sudah sangat terbiasa."

"Hahaha... Ah, ibu Jiho sudah selesai masak. Ayo, kita makan, nak."

Jiho berinisiatif mengambilkan nasi beserta segala lauk pauknya untuk Mujin.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang