Bonus Chapter

987 168 28
                                    

A/N
Guyss, gw kaya dihantui Mujin gitu dehh. Udah berkali2 mimpiin Mujin, terus kepikiran mulu, bener2 susah bgt move on-nyaaa 😭 Apa gw dihantui rasa bersalah? Ini gmn yah, masa gw harus nulis lagi sih 🤣😭

Yaudah deh ini hasilnya, chapter bonus yak 😭

•••

"Huekkk....!!"

Jiho menangkup rambutnya di sisi kanan rambutnya agar tidak terkena muntahannya. Sambil memegangi dudukan kloset, Jiho terus memuntahkan cairan ludah yang kental. Garis matanya dipenuhi air mata yang akhirnya tergulir di pipinya. Dadanya terasa sesak karena mual yang parah.

Tidur Jiho tidak nyenyak sejak malam tadi. Ia bolak balik mengganti posisi tidurnya, sementara Mujin yang kelelahan karena pulang pergi markas dan kantornya untuk mengurus segala kepentingannya sebelum ia pensiun, tertidur dengan nyenyak dan pulas. Di jam 3 pagi ini Jiho malah merasakan mual yang parah dan isi makanan perutnya hampir semuanya keluar.

Tiba-tiba terasa sentuhan yang lebih menyerupai pijatan lembut di punggung Jiho.

"Apa yang terjadi? Kamu sakit sayang?" tanya Mujin dengan khawatir.

"Aku tidak tahu..."

Mujin memegangi rambut Jiho, sambil membantu kekasihnya itu bangun. Ia mengambil beberapa helai tisu dan menyeka bibir Jiho.

"Mau kupanggilkan dokter sekarang?"

"Tidak usah. Nanti pagi saja," Jiho menjawab pelan.

"Bagaimana kondisi tubuhmu sekarang? Kalau masih terasa tidak enak sebaiknya periksa sekarang saja, Jiho. Dokter Lim akan datang secepatnya."

Jiho menggelengkan kepalanya, dan Mujin menghela nafasnya sebagai balasan.

"Kenapa kamu sangat keras kepala? Aku tidak bisa tenang kalau terjadi sesuatu denganmu," omel Mujin. Pria itu mengikat tali kimono Jiho yang sedang terduduk di pinggir kasurnya.

"Mungkin aku hanya sedang mual biasa saja, Mujin-ah."

Mujin mendecakkan lidahnya kesal.

"Aku akan tetap memanggil dokter nanti pagi. Kamu harus diperiksa."

Jiho menghela nafasnya.

"Arasseo."

Dengan kedua tangannya, Mujin memegangi pipi Jiho dan menatap mata indah milik kekasihnya itu, yang sayu dan terlihat lemah.

"Wae geurae? Katakan padaku sayang," tanya Mujin dengan lembut.

"Aniyo..." Jiho memalingkan wajahnya, membuat kesan ngambek kepada pacarnya itu.

"Aegiya. Kamu marah padaku?

"Ani."

"Ya, Lee Jiho...," Mujin mengerutkan alisnya karena bingung. Ia mulai yakin Jiho sedang marah kepadanya. "Apa karena aku terlalu sibuk?"

"Hmm, no."

"Lalu?"

"Aku bilang aku tidak marah."

"Tapi firasatku mengatakan sebaliknya. Jiho-ya, jujurlah sayang."

"Hmmm...," Jiho menghembuskan nafasnya panjang. "Aku, hmm, hanya merasa sedikit kesal."

"Sedikit? Tidak mungkin. Pasti sangat kesal," Mujin mengangkat satu ujung bibirnya, yang membuat Jiho gemas dalam hatinya. "Kenapa? Jujur saja. Apa aku terlalu sering pulang malam?"

"Hmm... Nde," jawab Jiho sepelan mungkin dengan wajah yang tertunduk.

Mujin memegang tangan Jiho lalu meremasnya lembut.

"Jiho, aku sudah bilang aku harus menyelesaikan semua urusan sampai aku resmi pensiun. Butuh waktu kurang lebih 2 bulan. Tidak sebentar, sayang."

"Dan kamu sama sekali tidak pergi ke kantor?"

"Ke kantormu, maksudmu, kan?"

"Hmm."

Mujin tersenyum, lalu mencium pipi Jiho karena gemas.

"Bukannya aku tidak mau. Tapi tidak sempat. Tapi minggu ini aku akan sempatkan. Supaya pacarku tidak marah."

"Aish. Tsk," Jiho mendesis. "Jjajeungna."

"Mau bagaimana lagi? Aku benar-benar harus fokus agar urusanku cepat selesai, sayang. Kamu mengerti, kan?"

"Nde, nde...," Jiho mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku mau tidur lagi," lanjutnya ketus.

Mujin terkekeh. Senyumnya terlihat lebih manis karena janggut tebal di rahangnya yang dicukur, menyisakan kumis janggut tipis di dagunya. Dengan bulu di wajah gaya apapun, Jiho tetap menyukainya. Mujin adalah satu-satunya pria yang paling tampan di hidupnya, dan membuat semua pria lain terlihat jelek di matanya.

Mujin, yang tidur bertelanjang dada memeluknya dari belakang.

"Bukankah tidurmu lebih nyenyak jika tidak memelukku?" tanya Jiho dengan judes.

"Aigo. Ternyata kamu semarah itu padaku? Aku langsung terlelap begitu menyentuh kasur tadi. Aku sangat lelah, Jiho. Maafkan aku," Mujin tersenyum dan menahan tawanya. Ia menciumi bahu Jiho yang wanginya sangat ia sukai.

"Hmm, terserah."

Tidak seperti biasanya, Jiho tidak mengenggam tautan tangan Mujin yang menempel di perutnya. Mujin mengambil tangan Jiho dan meletakkannya sendiri di pelukannya.

"Jangan ngambek lama-lama. Nanti waktu kita bermesraan akan berkurang," bisik Mujin, yang membuat Jiho gagal menahan senyumnya.

Sisi baru Mujin membuat Jiho jatuh cinta berkali-kali lipat lagi dan lagi kepada Mujin. Selama hampir satu bulan ini, Mujin terus melakukan terapi setiap 1 minggu 1 kali dan Mujin juga sangat terbuka dengan hasilnya. Dokter mengatakan perkembangan Mujin sangat luar biasa, dan kemungkinan besar karena trauma yang dialaminya sewaktu Jiho hampir kehilangan nyawanya beberapa waktu lalu, ditambah juga Mujin tidak lagi berurusan dengan masalah di organisasi. Sekarang, Jiho sudah sembuh dan bisa beraktifitas seperti biasanya, dan Mujin juga menunjukkan perubahan sikap yang signifikan. Jiho optimis akan kondisi Mujin, dan hubungan mereka berdua.

•••

Dokter Lim datang dan langsung memeriksa keadaan Jiho. Pria berambut putih itu membubuhkan beberapa catatan di rekam medis Jiho dan meminta Jiho melakukan beberapa tes, khawatir Jiho terserang virus, atau kemungkinan lainnya. Tekanan darah Jiho juga rendah dan ia terlihat pucat.

Jiho membaca lembar catatan checklist tes untuk darah dan urin yang harus dilakukannya, sementara Dokter Lim menelepon asistennya untuk datang dan membantunya.

Pagi ini Mujin harus pergi, namun ia berjanji akan menyelesaikan urusannya lebih cepat hari ini. Tidak lama kemudian Dokter Lim menerima kedatangannya dari asistennya.

"Begini, Nona Lee. Cuaca saat ini memang sedang berubah-ubah dan membuat banyak orang terserang penyakit dengan mudah. Tapi, sebenarnya aku mengkhawatirkan satu hal," ia menerima sebuah kotak persegi panjang dari asistennya, lalu menyerahkannya kepada Jiho. "Kurasa anda sebaiknya melakukan tes kehamilan terlebih dahulu."

"Ha? Apa dokter serius?" Jiho menelan ludahnya, terkejut menerima barang itu dari dokternya.

"Nde, kita akan lihat hasilnya," Dokter Lim tersenyum.

Jantung Jiho berdetak kencang ketika ia selesai mengambil sampel urin dan mencelupkan ujung dari alat tes itu ke dalamnya. Jiho menggelengkan kepalanya, tidak sanggup melihatnya. Ia buru-buru keluar dari kamar mandi dan meminta dokter yang melihat hasilnya.

Melihat Jiho panik, Dokter Lim pun tertawa.

"Anda serius anda ingin saya yang pertama tahu?" tanya Dokter Lim terkekeh mendengar permintaan Jiho.

"Nde."

"Baiklah."

Dokter Lim membuka kotak yang berisi alat tes yang dikembalikan Jiho tadi, dan mengecek hasilnya. Senyum lebar nampak di wajahnya.

"Ah, sungguh berita yang membahagiakan. Selamat, Nona Lee. Anda dan Tuan Choi akan segera memiliki keturunan."

Mwo?!

•••

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang